Kupang, FKKNews.Com-Menjelang peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember 2022, masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) terus menuntut kasus kemanusiaan, konflik agraria, lingkungan, dan lain-lain yang belum dituntaskan. Baik itu melalui jalur litigasi dan non-litigasi.
Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) Timor Tengah Selatan, ITA PKK, Dema Pospera NTT, Aliansi Solidaritas Besipae bersama masyarakat menggelar aksi demonstrasi. Kegiatan ini berlangsung Kamis (08/12/2022).
Aliansi tersebut menggeruduk kantor Gubernur NTT di bawah komando Koordinator Umum, Yerim Yos Fallo serta tiga orang koordinator lapangan (koorlap), yakni Yohanis I. Obije (Dema Pospera NTT), Nikodemus Manao (ITA PKK), dan Dedy Taoet.
Dengan jumlah massa aksi ratusan orang itu, mereka menuntut penyelesaian konflik agraria dan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.
“Kami mendesak pemerintah (Pemprov NTT) untuk hadir di sini sampai tuntutan diterima,” kata Yerim Yos Fallo dalam orasinya di depan kantor Gubernur NTT, Kota Kupang.
Ketua DPC Pospera Timor Tengah Selatan (TTS) itu mendesak Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur harus melakukan identifikasi batas-batas lokasi yang telah diklaim oleh Pemprov NTT sesuai dengan serifikat yang seluas 3.780 Ha.
Selain itu, pihaknya mendesak penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh Pemprov NTT melalui aparat Kepolisian dan Polisi Pamong Praja (POL PP) terhadap masyarakat Pubabu Besipae.
“Pemprov NTT harus bertanggung jawab atas barang-barang rakyat Pubabu – Besipae yang telah hilang saat penggusuran,” tuntut massa aksi seperti diterangkan dalam rilis.
Dalam kesempatan itu, mereka juga mendesak Kapolda NTT, Drs. Jhoni Asadoma untuk segara memroses pelaku tindakan kekerasan yang telah dilakukan oleh aparat negara terhadap anak-anak dan ibu-ibu di Pubabu saat penggusuran tahun 2020 silam.
“Kembalikan tanah adat rakyat Besipa’e,” tuntut mereka
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur harus memenuhi hak atas pendidikan bagi anak-anak di Besipa’e yang terbengkalai akibat konflik.
Jauh sebelum itu, sejumlah kelompok yang menamai diri Aliansi Solidaritas Besipae (ASAB) berdemonstrasi di Kota Kupang terkait konflik agraria di Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Jumat, 28 Oktober 2022.
Massa aksi mulanya melakukan aski di depan pasar Inpres, Kelurahan Naikoten Kecamatan Kota Raja, Kota Kupang dan dilanjutkan (long march) ke kantor Gubernur NTT dan berakhir di kantor DPRD Provinsi NTT.
Massa aksi menuntut Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mengidentifikasi batas-batas lahan Besipa’e seluas 3.780m2, dan menyelesaikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemprov Nusa Tenggara Timur melalui aparat kepolisian dan Polisi Pamong Praja terhadap masyarakat Besipa’e.
Dalam orasi salah satu masa aksi mengatakan wajah fasisme negara menyata dalam dua tahun terakhir di Besipae-Amnuban Selatan-Timor Tengah Selatan.
Dirinya menyebut hutan Kio yang menjadi milik sah masyarakat adat di sana, kembali diklaim secara sepihak oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, masyarakat adat diusir dari tanahnya, perempuan, dan anak dipukuli.
“Sudah tiga puluh lima tahun konflik belum berakhir. Pemerintah malah menerbitkan sertifikat hak pakai tahun 2013 dengan nomor: 00001/2013-BP,794953 secara sepihak sebagai dasarnya untuk melakukan sekian aktivitas di wilayah konflik. Sertifikat tersebut malah baru disampaikan kepada masyarakat adat Besipae pada 2020 lalu,” ungkap dia.
Kisruh yang berkecamuk ditanggapi oleh Komnas HAM dengan merekomendasikan beberapa hal pada tahun 2011 dengan nomor surat 873/K/PMT/IV/2011. Rekomendasi lembaga hak asasi negara itu tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah provinsi.
Konflik 2020 pun demikian Komnas HAM menyurati Gubernur NTT dengan perihal penundaan pengosongan dan penertiban rumah terkait dengan konflik lahan Pubabu-Besipae.
Surat bernomor 016/K-PMT/I/2021 tidak disikapi secara serius oleh pihak pemprov Nusa Tenggara Timur. Malah penggusuran terbaru pada tanggal 20-22 Oktober 2022, kembali dilakukan oleh pemerintah provinsi kepada 19 kepala keluarga, dan korbannya mencapai 86 jiwa.
Orator lain menyebut penggusuran itu mengangkangi keputusan yang dibuat sendiri oleh pemerintah bersama dengan pihak masyarakat adat pada 21 Agustus 2020 lalu.
“Teror dan perilaku inkonstitusional yang dilakukan oleh negara dengan alat-alatnya membuktikan bahwa tidak ada sikap demokratis di dalam menyelesaikan konlik perampasan lahan,” tegasnya.
Rakyat, kata dia, dijadikan sebagai objek di dalam setiap kebijakan yang selalu digaungkan demi kesejahteraan rakyat.
“Semenjak proyek investasi dimulai di Besipae 1982 silam, masyarakat adat dan sekitarnya tidak mendpatkan hasil langsung dari sekian jenis investasi yang dikembangkan oleh pemerintah provinsi mulai dari; intensifikasi peternakan bibit sapi unggul, program gerakan nasional rehabilitasi hutan yang malah membabat hutan Besipae seluas 1050 ha, sampai dengan program penanaman kelor dan jagung di wilayah konflik,” ucapnya.(*/FKK)