Kupang, FKKNews.com – Pernyataan Rocky Gerung ini diunggah di kanal YouTube milik Refly Harun. Oleh karenanya, relawan Jokowi juga melaporkan Refly Harun atas pendistribusian ujaran kebencian ini.
Video tersebut memuat orasi atau pidato Rocky yang dinilai menghina Jokowi. Video tersebut memaut logo SPSI atau Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Potongan video itu viral di media sosial.
Begitu Jokowi kehilangan kekuasaannya, dia jadi rakyat biasa, nggak ada yang peduli nanti. Tetapi, ambisi Jokowi adalah mempertahankan legasinya. Dia mesti pergi ke China buat nawarin IKN. Dia mesti mondar-mandir dari satu koalisi ke koalisi yang lain untuk mencari kejelasan nasibnya. Dia memikirkan nasibnya sendiri. Dia nggak mikirin nasib kita.
Itu b*** yang t**. Kalau dia b*** pintar, dia mau terima berdebat dengan Jumhur Hidayat. Tapi b*** t** itu sekaligus b*** yang pengecut. Ajaib, b*** tapi pengecut.
Pengamat Hukum Undana Deddy R. Ch. Manafe Saat dikonfirmasi, Rabu (2/8/2023) Menyebut bahwa pada dasarnya Ia sependapat dengan argumentasi Rocky Gerung tentang hakikat Peresiden sebagai jabatan dan/atau lembaga negara dan orang yang menduduki jabatan itu, dari segi filsafat, maka hak asasi manusia (HAM) itu merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Manusia sebagai ciptaan Tuhan, melekat pada dirinya apa yang disebut dengan harkat dan martabat atau dalam sebutan lain, yakni kehormatan.
“Oleh karena itu, hanya manusia yang bisa diserang harkat dan martabatnya atau kehormatannya. Tindak pidana yang substansinya menyerang harkat dan martabat atau kehormatan seseorang disebut penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Hal ini, sekaligus membedakan manusia dengan flora, fauna, mikroba, dan benda mati lainnya yang juga ciptaan Tuhan. Tidak ada tindak pidana penghinaan kucing, pohon, atau batu, misalnya,”ujarnya.
Ia lantas menyebut bagaimana dengan Presiden sebagai jabatan dan/atau lembaga negara, pertama, Jabatan dan/atau lembaga Presiden itu buatan manusia, sehingga tidak bisa disejajarkan dengan manusia sebagai ciptaan Tuhan, kedua karena jabatan dan/atau lembaga negara itu bukan ciptaan Tuhan, maka jelas tidak ada karunia Tuhan berupa harkat dan martabat seperti manusia, ketiga karena tidak memiliki harkat dan martabat sebagai manusia, maka Presiden sebagai jabatan dan/atau lembaga negara tidak bisa dihina atau dicemarkan nama baiknya seperti manusia, keempat, kalau tidak bisa dihina atau dicemarkan nama baiknya, maka tidak ada juga tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap jabatan dan/atau lembaga Presiden.
“Hal ini, sejalan juga dengan filsafat hukum pidana. Di mana, menempatkan negara, lembaga negara, dan jabatan negara pada posisi tidak boleh melakukan kejahatan, kecuali kejahatan HAM berat. Contoh: Jepang ketika menduduki Indonesia, melakukan praktik jugun ianfu atau budak seks bagi bala tentaranya. Kemudian negara Jepang bertanggung jawab dengan memberikan pampasan perang ke rakyat Indonesia yang jadi korban,”pungkasnya.
“Indonesia, di dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945 memandatkan 4 kewajiban sekaligus kewenangan negara, lembaga negara, jabatan negara, yaitu: melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan, dan mendamaikan kehidupan rakyat. Dalam kerangka ini, negara, lembaga negara, dan jabatan negara tidak boleh menjadi penjahat,”tambahnya.
Ia menyimpulkan bahwa yang pertama, Pasal 50 KUHP menyatakan bahwa melaksanakan perintah UU, tidak boleh dipidana. Apa itu UU?
Secara filsafat, oleh Bung Karno disebut sebagai tulisan yang berisi amanat penderitaan rakyat (Ampera). Kedua, Pasal 51 KUHP menyatakan bahwa melaksanakan perintah jabatan, tidak boleh dipidana. Apa itu jabatan?
Jabatan, secara filsafat adalah fungsi negara yang memiliki kewenangan untuk menjalankan UU. dari sini jelas, negara, lembaga negara, jabatan negara bukan terkategori subjek hukum pidana yang bisa dipidana atau dihukum. Artinya, negara, lembaga negara, dan jabatan negara tidak bisa disejajarkan dengan orang perorangan dan korporasi sebagai subjek hukum pidana.(FKK03)