Kupang, FKKNews.com – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia temukan sejumlah masalah terkait pengelolaan puluhan tambak garam di Kabupaten Sabu Raijua, akibat tidak tertibnya pengelolaan tambak tersebut oleh Dinas Penanaman Modal Perijinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sabu Raijua.
Hal itu tertuang dalam hasil Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Nomor: 43.b/LHP/XIX.KUP/06/2029, tertanggal 24 Juni 2019.
Masalah yang disebut BPK RI dalam LHP tersebut antara lain: tidak adanya organisasi khusus yang mengelola garam garam curah yang diproduksi dari tambak garam. Selain itu, perhitungan nilai persediaan garam tidak sesuai standar akuntansi pemerintah. Juga terdapat 51 ton garam yang dikuasai pihak lain dan penjualan garam tidak disertai dokumen yang sah. Berikut, pencatatan piutang penjualan garam tidak tertib.
Pertama, soal tidak adanya organisasi khusus pengelola tambak garam. Dinas PMPTSP Perindag Kabupaten Sabu Raijua langsung mengelola kegiatan produksi, pengamanan persediaan, penjualan dan penatausahaan piutang tidak dilakukan oleh unit khusus, namun melekat pada tupoksi bidang- bidang Dinas PMPTSP dan Perindag.
Produksi dan penyimpanan persediaan garam curah dilaksanakan oleh Bidang Perindustrian. Sedangkan penjualan garam curah dilakukan oleh Bidang Perdagangan. Lalu untuk pembayaran belanja atas biaya produksi dan keperluan tambak garam, dilakukan oleh bendahara penerimaan Dinas PMPTSP Perindag Kabupaten Sabu Raijua.
Menurut BPK RI, kegiatan produksi garam dikelola oleh Bidang Perindustrian. Proses pencatatan harian atas produksi dan penatausahaan persediaan garam di gudang dilakukan oleh kordinator tambak. Keseluruhan biaya produksi dibebankan pada anggaran belanja DPA Dinas PMPTSP Perindag.
Keseluruhan biaya produksi dimaksud terdiri atas belanja modal, penyiapan lahan dan mesin pompa, dan belanja barang dan jasa, untuk biaya kompensasi biaya lahan tahun, honorarium petani garam, belanja pemeliharaan mesin dan BBM, belanja bahan pendukung seperti karung, jarum dan sebagainya. Realisasi belanja dilaksanakan oleh bendahara pengeluaran.
“Belum ada SOP tertulis yang mengatur tentang prosedur penjualan dan penatausahaan piutang dan penerimatan penjualan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang Perdagangan, diketahui bahwa dalam melakukan penjualan, pembeli garam langsung menghubungi Kepala Dinas (Kepala Dinas Perdagangan Sabu Raijua, red) untuk menyepakati volume dan harga garam,”beber BPK RI.
Setelah ada kesepakatan verbal, lanjut BPK RI, Bidang Perdagangan menerbitkan nota pengambilan garam, yang berisi informasi nama pemesan, jumlah pesanan, dan tempat pengambilan garam. Lalu pada saat pembeli mengambil garam dari gudang, kordinator tambak menuliskan tanggal pengambilan dan total muatan pada nota pengambilan garam tersebut, dan ditandatangani oleh pemesan garam, kordinator tambak, dan staf dari bidang perdagangan.
“Pembeli melakukan pembayaran melalui bendahara penerimaan dan bendahara penerimaan selanjutnya menyetor pendapatan dari penjualan garam tersebut ke rekening kas daerah,” tulisnya.
Kedua, BPK RI juga mengungkapkan, perhitungan nilai persediaan garam curah tidak sesuai SAP (Standar Akuntansi Pemerintah).
Berdasarkan data produksi dan stok persediaan garam tahun 2018, diketahui jumlah produksi garam curah sebanyak 8.168,92 ton, garam curah yang terjual 4.525 ton, garam curah yang digunakan di pabrik yodisasi 55,80 ton dan sisa persediaan akhir 2018 sebanyak 3.588.
“Dinas PMPTSP Perindag tidak dapat menyajikan data persedia awal garam per 1 Januari 2018. Sedangkan nilai persediaan akhir garam per 31 Desember 2018 adalah senilai Rp 3.347.604.000 yang dihitung berdasarkan sisa persediaan 3.588.000 kg dikalikan harga pokok produksi (HPP) sebesar Rp. 933/kg,” ungkapnya.
Menurut penjelasan Kepala Dinas PMPTSP Perindag, lanjut BPK, penetapan HPP tersebut adalah perkiraan biaya operasional per hektar (tenaga, perawatan alat, bahan bakar, perawatan tambak pasca panen) dibagi dengan potensi penjualan garam curah per hektar dikalikan asumsi harga, sehingga perhitungan HPP adalah Rp 209.940.000/Rp 225.000.000 x Rp 1.000 = Rp 933.
Menurut penjelasan Kepala Bidang Industri, jelas BPK RI, diketahui bahwa belanja yang digunakan untuk memproduksi garam terdiri atas belanja honorarium non-PNS untuk para pekerja tambak yang dilakukan dengan mekanisme belanja langsung. Sedangkan kebutuhan pemeliharaan mesin dan habis pakai, dilakukan dengan cara belanja biasa yang bukti-buktinya disampaikan kepada bendahara pengeluaran.
“Bidang industri tidak membuat catatan apapun terkait belanja yang telah dikeluarkan tersebut. Jika diperlukan catatan mengenai jumlah yang telah dikeluarkan, maka harus memilah dahulu dari bukti-bukti pengeluaran yang ada pada bendahara pengeluaran. Hasil wawancara dengan Bendahara Pengeluaran, diketahui bahwa Bendahara Pengeluaran hanya sekedar membayar tagihan yang dinyatakan dalam kwitansi atau noata pembelian, dan tidak dapat memilah antara belanja pemeliharaan/belanja habis pakai antara keperluan operasional rutin OPD dengan keperluan tambak garam.
“Sampai dengan akhir pemeriksaan, pemeriksa (BPK RI, red) tidak dapat memperoleh rincian maupun dokumen pendukung terkait belanja tersebut. Selain itu, bidang industri juga tidak memiliki catatan sisa persediaan pemeliharaan mesin, bahan bakar, maupun bahan habis pakai lain pada akhir tahun, sehingga perhitungan harga pokok produksi sesuai yang dipersyaratkan SAP tidak dapat dilakukan,” tegasnya.
Ketiga, dalam LHP BPK terkait pengelolaan tambak garam Kabupaten Sabu Raijua tahun 2018 itu, juga ditemukan persediaan garam sebanyak 51 ton yang dikuasai oleh pihak lain yang belum dicatat. Berdasarakan data piutang penjualan garam curah, diketahui bahwa terdapat piutang penjualan garam kepada sdr. YA senilai Rp 102.000.000 atas penjulan garam sebanyak 51 ton dengan harga Rp 2.000/kg yang diambil pada bulan Juli 2018.
Namun setelah dikonfirmasi BPK, YA menyatakan tidak mengakui pembelian garam curah sebanyak 51 ton tersebut karena tidak terjadi kesepakatan harga. Pengiriman garam dari Tambak Deme ke gudang milik YA tersebut adalah untuk membantu pengelola di tambak garam Deme yang kesulitan menampung persediaan garam karena gudang penyimpanan tidak mampu menampung karena sebagian gudang masih dalam proses pembangungan/perbaikan.
Jika terjadi kesepakatan harga, maka garam tersebut akan dibeli YA, atau Dinas (Dinas Perdagangan Sabu Raijua, red) dapat mengambil kembali garam tersebut dengan mengganti biaya transportasi yang telah dikeluarkan YA. Dengan tidak adanya kesepakatan jual beli tersebut, maka garam sebanyak 51.000 kg tersebut statusnya merupakan Persediaan Dinas Perdangangan sabu Raijua yang belum dicatat.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) sekaligus Kepala Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu (BMPTS) Kabupaten Sarai Raijua, Lagabus Pian yang dikonfirmasi tim media ini via pesan WhatssApp/WA pada Kamis, 20 Juni 2024 terkait temuan BPK tersebut mengaku, semua temuan BPK tersebut telah ditindaklanjuti oleh Pemda Sabu Raijua dalam tempo 60 hari pasca temuan BPK RI.
“Semua temuan BPK sdh ditindaklanjuti dalam tempo 60 hari sejak LHP diterima,” tulisnya menjawab wartawan.
Sedangkan terkait adanya kegiatan tambak garam yang dijalankan PT NRI (berdasarkan Kerjasama kontrak lahan dengan masyarakat, red) di lahan bekas Tambak Garam Pemda yang pernah dikelola Pemda Sabu Raijua sejak tahun 2014 hingga tahun 2017, lalu terbengkalai sejak tahun 2018 dan pasca Badai Seroja tahun 2021, Kadis Lagabus Pian menjelaskan, bahwa Pemda Sabu Raijua saat ini sedang dalam upaya pembahasan kerjasama dengan PT NRI.
“Kerjasama dengan PT NRi dalam proses pembahasan,” tulisnya lagi.
Lalu terkait puluhan gudang garam yang rusak dan dibiarkan tak diperbaiki hingga hari ini, Kadis DPMPTSP Sabu Raijua itu mengungkapkan, bahwa Pemda Sabu Raijua tetap melakukan perbaikan terhadap Gudang-gudang tersebut secara bertahap, sesuai kemampuan keuangan daerah.
“Tambak dan Gudang semua rusak saat terjadi badai seroja. Pemda melakukan perbaikan secara bertahap sesuai kemampuan keuangan daerah,” bebernya.*
Kondisi Terkini Tambak
Pantauan langsung tim media ini di sejumlah lokasi tambak garam (di desa Wadu Medi dan desa Bodae serta desa Eiada dan Liae Kabupaten Sabu Raijua) pada tanggal Rabu dan Kamis, 12 dan 13 Juni 2024 lalu, tampak jumlah luas lahan tambak garam yang dikelola langsung Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua melalui dinas teknis terkait lebih sedikit, dibading luas lahan yang saat ini dikontrak dan dikelola langsung oleh pihak swasta (PT. NRI, red), padahal letaknya berdampingan dan merupakan bekas tambak yang pernah dikelola langsung Pemda Sabu Raijua.
Di wilayah tambak 19 pantai Bali desa Bodae misalnya, luas lahan tambak garam yang sementara dikelola Pemda Sarai hanya kurang lebih 1 hektar dengan jumlah hasil panen garam belasan ton yang tersimpan/tertutup plastic geomembrane dan sebagian sudah terisi dalam karung dan tersimpan di dalam gudang garam.
Di dekat lokasi tambak tersebut (di dekat lahan satu hektar tambak milik Pemda yang sedang beroperasi, red) kurang lebih terdapat belasan hektar lahan tambak garam yang belum beroperasi, dan sementara dibersihkan serta dipetak-petak oleh para karyawan, yang diduga dipekerjakan PT. NRI.
Belasan hektar tambak garam tersebut tampak belum dipasangi geomembran dan belum sama sekali beroperasi. Informasi yang dihimpun dari masyarakat setempat, hal itu karena hingga saat ini masih menunggu kiriman geomembran dari Jawa.
Kurang lebih selang jarak 150 meter ke arah bawah Timur, ada hamparan tambak garam seluas kurang lebih tujuh (7) hektar milik PT NRI yang sementara aktif dan berproduksi.
Baik di lokasi tambak yang dikelola langsung pemerintah maupun PT NRI, terdapat sejumlah unit gudang penyimpanan garam yang sebelumnya dibangun Pemda Sarai sejak awal pembangunan tambak, tampak terbengkalai, tak beratap, akibat hantaman badai Seroja tahun 2021 lalu.
Pasca Badai Seroja tahun 2021 hingga saat ini, bangunan-bangunan gudang garam tersebut tidak direnovasi, sehingga tampak mubazir.
Sementara itu, di lokasi berbeda yaitu di lokasi tambak garam desa Eiada jumlah tambak yang sedang beroperasi juga tidak seberapa dibanding luas tambak garam desa Bodae kecamatan Sabu Timur atau desa Wadu Medi Kecamatan Wei Mehara.
Satu unit tambak seluas setengah hektar milik Pemda Sabu Raijua di desa Eiada tampak tak terurus dan mubazir.
Hal ini berdasarkan kondisi lapisan geomembrane bekas hasil panen garam yang sudah berlumut berwarna kehitaman karena lama dibiarkan terbengkalai. Di samping kiri tambak tersebut terdapat luas satu (1) hektar lahan yang sudah dibersihkan dan disiapkan, tetapi belum dipasangi geomembran.
Dua hamparan lahan tambak tersebut tampak tak dipagar sehingga ternak (sapi dan kambing, red) leluasa masuk keluar tambak, dan mengancam kebersihan lokasi tambak dan garam yang diproduksi.
Di antara dua lahan tambak tersebut, berdiri dua unit bangunan Gudang Garam yang juga sudah rusak, dengan kondisi tanpa atap.
Bergeser ke arah Kecamatan Liae, tim media menemukan kesan tambak dikelola langsung masyarakat dengan kapasitas lahan yang tidak begitu luas, antara ½ hingga satu (1) hektar lahan. Ada yang telah dibersihkan dan dipetak, tetapi belum dipasangi plastic geomembran dan juga belum dipagar. Satu hektar lain ditemukan telah dibersihkan dan dipasangi geomembran, hanya karena tidak dipagar, maka ternak sapi masuk dan mengotori plastic geomembran.
Informasi yang dihimpun awak media berdasarkan wawancara dengan masyarakat setempat, tambak tersebut disebut milik PT. NRI, bukan milik Pemda Sabu Raijua.(FKK03)