Oleh: Florit P. Tae Kabid PKK GMKI Cabang Kupang
Pendahuluan
Ghetto, merupakan sebuah istilah yang telah lama digunakan sebagai pelambangan diskriminasi. Ghetto secara sederhana dapat dipahami dengan istilah tembok pemisah. Misalnya, Orang yang ada dalam ghetto merupakan orang yang membangun tembok pemisah untuk memisahkan diri dari lingkungan sekitarnya, atau dengan kata lain membangun tembok pemisah antara dirinya dengan orang lain agar tidak ada interaksi yang intes dengan lingkungan sekitarnya.
Tembok pemisah (Ghetto) dalam dunia pendidikan bukanlah merupakan istilah yang asing. Sepanjang peradaban manusia, pendidikan hanya di-identik-an dengan ruang kelas. Pendidikan hanya dapat diakses ketika seseorang menjadi murid di sekolah tertentu. Disini, ruang kelas menjadi tembok pemisah. Memang, kita tidak menafikan bahwa sejak dahulu pendidikan dapat diakses melalui buku dan sebagainya. Kendati demikian, akses pendidikan tetap terbatas. Ghetto dalam pendidikan tetap ada.
Era Digital, menghentar dunia pada sebuah dunia yang serba digital. Intensitas perubahan yang terjadi dan sedang dialami oleh manusia hari-hari ini, adalah akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagaimanpun, pada era ini, manusia dalam segala usia harus hidup menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang ada. Perkembangan sepanjang penambahan usia alam semesta ini telah sampai pada suatu era dunia yang disebut dengar era digitalisasi. Perkembangan pola pikir manusia, perubahan perilaku, perubahan relasi sosial, perubahan penataan kehidupan kerap berjalan seiring perkembangan teknologi, kecepatan informasi dan sebagainya, sehingga era ini disebut era digital.
Ketika segala segi kehidupan manusia kerap dikenal dengan kehidupan digital, maka penyebutan terhadap manusia (saya dan anda) berubah menjadi “Homo Digitalis”.
Ghetto dalam memulung ilmu
Pendidikan sejak dahulu menjadi perhatian serius. Upaya untuk mengarahkan system pendidikan yang baik, efisien dan bermakna bagi manusia telah dilakukan oleh para ahli pendidikan. Alih-alih sepakat bahwa pendidikan itu penting, karena itu system pendidikan harus terus diperbaharui agar menarik bagi manusia dan memberi manfaat bagi kehidupan yang bermartabat. Kecemasan akan masa depan pendidikan sudah berkali-kali dinyatakan oleh para pemikir (pendidikan). Sinisme, satire, dan kredo yang menohok kenyataan praktik-praktik pendidikan muncul tanpa henti. Kritik-kritik terhadap dunia pendidikan telah dilakukan oleh Paulo Freire seorang tokoh pendidikan Brasil dan teoritikus terkenal didunia dengan karyanya yang terkenal “pendidikan kaum tertindas” dan “pendidikan pembebasan”, sampai seorang tokoh pendidikan dan teoritikus Amerika, Neil Postman dengan karyanya yang juga terenal “Matinya Pendidikan” dan banyak tokoh pendidikan lainya.
Kritik keras para tokoh pendidikan tadi, secara khusu mengarah pada pendidikan yang telah saya sebut sebelumnya yakni pendidikan di ruang kelas. Bagi mereka, pendidikan pada masa itu sangat tidak efektif. Paulo Freire misalnya memberkan argumennya bahwa metode pendidikan yang terjadi pada masa itu adalah pendidikan gaya Bank. Maksudnya adalah, model pembelajaran yang terjadi di ruang kelas tidak bersifat eteraktif. Guru selalu tampil sebagai subjek pendidikan sedangkan murid sebagai objek. Murid hanya duduk, diam dan mendengar. Sedangkan, guru berupaya mentransfer ilmu sesuai dengan yang dimiliki. Disini, tidak berlebihan jika murid disebut sebut sebagai kaum tertindas, sebab murid tidak memiliki ruang gerak yang lebih untuk menjadi subjek pendidikan. Dan pada akhirnya Freire menyebut system pendidikan yang demikian sebagai pendidikan yang tidak membebaskan.
Lebih lanjut, Tokoh Pendidikan Neil Postman dalam buku “Matinya Pendidikan” memberikan kritik yang hampir sedana dengan Freire. Neil Postman menegaskan dengan sangat seriu bahwa model pendidikan yang diamatinya semakin menyakitkan dan menyedikan. Memang, Neil Postman berbicara pada konteks Amerika. Namun, sedikit banyak permasalah model pendidikan di Amerika dialami oleh negara-negara di berbagai belahan dunia tanpa terkecuali kita hari ini di sini. Neil Postman secara tegas berujar “Tanpa sebuah narasi, hidup tidak akan bermakna.Tanpa makna, belajar itu tidak akan memiliki tujuan. Tanpa sebuah tujuan, sekolah-sekolah adalah rumah-rumah tahanan, bukan sebuah rumah yang memberikan perhatian””. Sebuah ungkapan yang menohok sekaligus menginterupsi system pendidikan kearah yang lebih relevan dan bermakna autentik bagi manusia yang belajar.
Bertolak dari uraian singkat diatas, menggambarkan dengan sangat jelas bahwa dunia pendidikan sejak dari dahulu telah muncul dengan Ghetto. Antara guru dengan murid, ruang kelas dengan ruang sosial, pendidikan gaya bank dan pendidikan pembebasan (mengutip Freire) dan sebagainya. Kebebasan manusia untuk memulung ilmu tidak diprioritaskan. Pasca kritik tajam para Paulo Freire, Neil Postman dan tokoh lainnya, tidak berarti bahwa system pendidikan setalh itu langsung berubah seumpama membalikan telapak tangan. Tahapan pembaharuan terus dilakukan. Bahkan, kita mesti jujur bahwa praktik pembelajaran sampai pada era hari ini masih bersifat “menindas”. Model-model pendidikan gaya bank (lihat, Freire), dan pendidikan yang tidak memprioritaskan nilai dan prinsip manusiawi manusia (lihat, Postman) terus menjadi praktek yang lazim. Oleh karena itu, Ghetto (Tembok pemisah) dalam dunia penddikan masih terasa.
Era digitalisasi sesungguhnya merupakan sebuah era yang menginterupsi system pendidikan yang lazim. Model pembelajaran convensional diobrak abrik oleh perkembangan teknologi. Ghetto pada dunia pendidikan diluluh lantahkan oleh gelombang besar teknologi. Oleh karena itu, didalam dunia yang serba digital, membutuhkan gaya, strategi dan pemahamahan akan proses belajar yang relevan. Sebab, jika tidak maka kita akan terus ada di dalam Ghetto pendidikan.
Homo Digitalis Memulung ilmu tanpa Ghetto
Ciri utama abad milenium ini adalah terjadinya globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan menyeluruh, dimana batas-batas negara tidak lagi penting. Salah satu yang menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah adanya persamaan hak. Dalam konteks pendidikan, persamaan hak ini dijunjung setinggi-tingginya dan sebaik-baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yang penuh dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Karena itu, mau tidak mau setiap orang mesti berusaha untuk menguasai ilmu dan teknologi agar dapat ikut dalam persaingan.
Ditengah-tengah dunia yang te-rengkuh didalam digitalisasi kehidupan, maka perlu suatu upaya yang serius sekaigus bijak dalam menata kehidupan. Kita setiap detik, masuk situasi persaingan tanpa jeda. Dengan demikian, kita dituntut untuk secara bijak memanfaatkan waktu yang ada untuk bersaing. Sebab, setiap orang memiliki kesempatan yang sama, ruang belajar yang sama, akses informasi yang setara dan sebagainya. Hanya orang yang tidak serius dan apatis yang tergerus dalam kedangkalan pengetahuan.
Perkembangan Teknologi, sebagaimana saya sebutkan diatas telah meruntuhkan Ghetto dalam dunia pendidikan. Gelombang besar teknologi menghancurkan batas-batas yang sejak lama dibangun. Memang, batas-batas itu sekaligus telah ditolak melalui kritik-kritik menohok para ahli pendidikan. Setiap orang berhak memulung ilmu diamana saja, dan kapan saja. Dewasa ini, ilmu tidak lagi menjadi milik orang-orang yang memiliki kematangan finansial, atau orang-orang yang memiliki nilai akademis yang tinggi. Semua orang setara untuk mengakses ilmu. Tidak ada biaya yang harus dikeluarkan utnuk mengakses ilmu pengetahuan. Segala sesuatu telah tersedia. Mungkin, kita bisa berkata “segala sesuatu telah tersedia, ambillah dan konsumsilah”. Hidangan ilmu pengetahuan dapat dijumpai pada meja-meja teknologi.
Era digital mengandaikan bahwa dalam dunia ini, tidak ada Ghetto antara orang lapar dan kenyang pengetahuan. Setaip orang memiliki kesempata yang sama untuk menikmati hidangan pengetahuan yang tersedia. Masing-masing kita dipersilahkan memilih menu yang sesuai, bahkan boleh mencoba setiap menu yang ada. Hanya orang yang malas dan apatis yang tidak mampu mengulurkan tangan keatas meja hidangan pengetahuan.
Penutup
Dengan segala keterbukaan akses yang telah kita uraikan panjang lebar diatas, Ghetto-Ghetto telah diruntuhkan, Homo Digitalis telah Berjaya dipanggung dunia digital. Hal ini tidak berarti bahwa tidak perlu lagi ruang kelas untuk mengakses pendidikan, Atau guru-guru tidak lagi bermanfaat bagi murid. Pendidikan di ruang kelas masih terus berjalan sambil terus memperbaharui system pendidikan. Memulung ilmu boleh dimana saja dan kapan saja. Namun, hal penting yang mesti menjadi perhatian adalah Nilai-nilai moral. Digitalisasi merupakan sebuah kemewahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, Digitalisasi kerap meruntuhkan nilai-nilai etis moral dalam pendidikan.
Terkait dengan itu, pendidikan mesti dapat menjawab tantangan tersebut. Dengan kata lain, pendidikan harus menyediakan kesempatan bagi setiap peserta didik untuk memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sebagai bekal mereka memasuki persaingan dunia yang kian hari semakin ketat itu. Disamping kesempatan yang seluas-luasnya disediakan, namun yang penting juga adalah memberikan pendidikan yang bermakna (meaningful learning). Karena, hanya dengan pendidikan yang bermakna, peserta didik dapat dibekali keterampilan hidup, sedangkan pendidikan yang tidak bermakna (meaningless learning) hanya akan menjadi beban hidup. Kehidupan ke depan adalah sangat berat, penuh tantangan dan kompetitif, dan untuk itu perlu penataan kehidupan dalam berbagai hal termasuk aspek pendidikan.
Untuk penataan hidup yang lebih baik tentunya diperlukan sistem pendidikan yang berwawasan masa depan. Pendidikan berwawasan masa depan itu sendiri diartikan sebagai pendidikan yang dapat menjawab tantangan masa depan, yaitu suatu proses yang dapat melahirkan individu-individu yang berbekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk hidup dan berkiprah dalam era globalisasi.
Slamat menghayati Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS). Tuhan Yang Maha Esa Merahmati kita dengan Hikmat, Kebijaksanaan dan gairah untuk terus belajar.