Perichoresis: Memahami dan Menata Relasi untuk Bangkit, Bersatu, Bersolider
Oleh: Florit P. Tae, S.Th
PENGANTAR
Tahun 2022 merupakan tahun yang bermakna bagi banyak orang. Bahkan, setiap orang memaknai dengan cara yang berbeda-beda, kendati semua mengalami dan menikmati situasi dan peristiwa yang sama. Pemaknaan selalu bergantung pada apa yang dialami sepanjang tahun dan kerap bergantung pula pada sikap dan persepsi seseorang. Tahun 2022 adalah tahun yang dialami sebagai momentum pasca pandemi, setelah 2019 akhir sampai 2022 awal kita bergelut dengan pandemi yang amat memukau dan serentak mencekam itu. Sebab, pandemi covid-19 menciptakan kehidupan yang baru sama sekali. Tahun 2022 yang lalu, sebagai tahun pasca pandemi, memaksa orang untuk beradaptasi.
Tahun 2022 dilewati, serentak dengan berbagai dinamika yang turut mewarnai perjalanan panjang setahun itu. Tema “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat” memberi harapan bagi kita untuk setia dan berani membuat terobosan dalam menapaki perjalanan panjang tahun 2022. Berbagai situasi dialami; dinamika relasi sosial, pergumulan ekonomi, situasi politik dan sebagainya mewarnai seluruh perjalanan panjang sampai penghujung tahun. Jika kita amati lebih dalam, harapan untuk “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat” tidak hanya berhubungan dengan upaya untuk keluar dan terbebas dari pandemi, tetapi pada sisi yang lain harapan dengan tema itu, memberi isyarat untuk bangkit dan pulih dari berbagai dinamika, pergumulan dan situasi yang dialami. Kendati 2022 berlalu, berbagai dinamika dan persoalan kita lewati, tetapi situasi pergumulan tidak berakhir dengan berakhirnya tahun 2022. Karena itu, catatan penting bagi kita adalah resolusi seperti apa yang harus dilakukan untuk memulai ziarah panjang tahun 2023, sekaligus sikap seperti apa yang mampu menolong kita untuk tetap bangkit dan kokoh dalam melintasi tahun dramatis 2023. Oleh sebabnya, penting untuk mengemukakan sebuah paradigma Teologis-Filosofis agar sedapat mungkin, kita melintasi ruang dan waktu tahun 2023 dengan tetap kokoh, kendati bergulat dengan berbagai situasi dan pergumulan.
PERICHORESIS: SEBUAH PARADIGMA TEOLOGIS-FILOSOFIS DALAM RANGKA MENATA KEHIDUPAN
Istilah perichoresis berasal dari bahasa Yunani yang secara khusus dipakai untuk menggambarkan hubungan antar tiga pribadi dalam Trinitas. Istilah ini merujuk pada sebuah tarian melingkar, suatu gerakan berputar, suatu lingkaran siklus seprti putaran roda. Dalam konteks NTT, dapat dipahami dengan melihat pada tarian Lego-lego masyarakat Alor, atau Tarian tebe Masyarakat Malaka. Metafora tarian melingkar itu hendak menegaskan bahwa setiap pribadi Ilahi secara dinamis berputar disekitar yang lain, berinteraksi dan terjalin satu dengan yang lain, dalam suatu lingkaran kehidupan Ilahi. Meskipun ketiganya berbeda, ketiganya terhubung satu dengan yang lain dalam persekutuan cinta kasih. Dengan kata lain, perichoresis merujuk pada relasi cinta kasih.
Istilah perichoresis pada satu sisi, jika ditelaah lebih jauh, sebetulnya muncul pertama kali dalam filsafat Stoa, yakni ia bisa berarti Interpenetrasi dan rotasi. Dalam Teologi Kristen, Perichoresis kemudian digunakan oleh bapak-bapak gereja dan diartikan lebih jauh sebagai metafora tarian melingkar. Metafora tarian melingkar itu hendak menunjukan bahwa persekutuan dari Allah Trinitas tidaklah dalam hirarki, struktur piramida meruncing keatas, atau krakter yang asimetris. Sebaliknya, Trinitas itu berada dalam relasi kesetaraan dan mutualitas. Dalam tarian melingkar, ketiganya berbagi energi kehidupan, keselamatan dan pembaharuan.
Dalam pemahaman yang demikian, mutualis dalam masyarakat, keluarga, komunitas, organisasi dan sebagainya mesti didasarkan pada mutualis dan relasi timbal balik Ketiga Yang Esa itu. Mutualis perlu dipahami sebagai sebuah analogi dari relais timbal balik yang hidup dalam Allah Trinitas. Sifat kehidupan sosial adalah relasi timbal balik yang harus dipahami dalam terang jati diri Allah. Individu-individu, Masyarakat, komunitas, organisasi adalah relasi timbal balik. Sebab, bagi orang Kristen, hakikat Allah adalah relasi timbal balik. Sebuah relasi saling berkelindan, sebauh gerak saling memasuki antar pribadi Trinitas.
Jurgen Moltmann, seorang Teolog Jerman menjelaskan bahwa Perichoresis merupakan sebuah konsep Teologis-filososfis yang berfokus pada “Komunitas tanpa Uniformitas, dan personalitas tanpa Individualitas”. Pernyataan Moltmann secara tegas dan tepat menunjuk pada nilai utama Perichorisis dalam hal mempertahankan prinsip pribadi di dalam persekutuan, yakni kesatuan dan perbedaan di dalam Trinitas tetap dipertahankan sebagai jati diri. Artinya bahwa, keunikan dari pribadi-pribadi tidak boleh disangkal, dan serentak kesatuan pribadi-pribadi tidak boleh dihilangkan. Sebab, keduanya menjadi ciri mutlak dari jati diri Allah Trinitas. Karena itu, Moltmann memberi pesan bahwa personalitas tetap dipertahankan, tetapi individualitas harus dihindari. Itulah makna terdalam dari Perichoresis.
MEMAHAMI DAN MENATA RELASI UNTUK BANGKIT, BERSATU, BERSOLIDER
Memasuki dan menjalani tahun 2023 adalah mimpi sekaligus harapan yang didambakan oleh semua orang. Sebaliknya, mengakhiri dan melintasi berbagai pergumulan dalam ziarah panjang tahun 2022 merupakan sebuah fenomena apik bagi kita semua. Ingatan kita akan kenangan-kenangan yang terukir dalam satu tahun berlalu membawa kita pada mimpi dan resolusi baru ditahun 2023, bahkan pada tahun-tahun selanjutnya yang akan datang.
Sebagai catatan reflektif, kita harus jujur bahwa pada tahun 2022, pasca pandemi covid-19, kita memasuki situasi dan kehidupan yang baru. Kita beradaptasi dengan banyak hal. Sebab, relasi sosial berubah, tradisi dan kebiasaan keseharian kita berubah, pola komunikasi bahkan banyak hal lainnya berubah. Selain itu, berbagai krisis dialami; seperti krisis energi, ekonomi, pangan dan sebagainya. Disamping itu, kita mengalami berbagai goncangan politik, terjadi peperangan antar manusia atas nama negara dan arogansi, dan berbagai situasi mencekam lainnya terjadi dalam kehidupan kita. Karena berbagai situasi inilah, kita mengalami berbagai dampak dalam kehidupan sosial kita.
Selanjutnya, seiring perkembangan peradaban dan perkembangan teknologi, situasi sosial kita menampilkan fakta bahwa semakin hari kita semakin individualistis. Individu-individu manusia ada pada kehidupan yang eksklusif dan memikirkan diri sendiri serta kelompok. Negara-negara misalnya, semakin bergembira dengan eksklusifitas. Komunitas, organisasi juga demikian. Semua menempuh jalan eksklusifitas dan mengabaikan kehidupan komunal yang seharusnya memandang pada persekutuan dan kesatuan yang saling menghidupi. Hal ini adalah realitas yang tidak mudah disangkal. Sebab, sadar atau tidak, kenyataan sosial kita demikian. Kita semakin hari, semakin mementingkan diri dan kelompok, lalu mengabaikan yang lain.
Catatan reflektif diatas, menegaskan beberapa hal. Pertama, relasi menjadi penting sebagai sebuah prinsip hidup individu-individu manusia. Tanpa relasi, individu-individu manusia akan terasing dari kehidupan sosialnya. Ia akan menjadi sepi dan tidak mampu menciptakan kehidupan yang senasip, seperjuangan. Kedua, solidaritas harus menjadi gaya hidup dan kesadaran eksistensial dalam diri individu-individu. Solidaritas, lahir dari kesadaran bahwa kita tidak bisa hidup dan menempuh ziarah panjang tanpa ditemani orang lain. Jika kesadaran solidaritas tidak dimiliki, maka setiap individu akan hanyut terbawa arus perubahan yang semakin eksklusif. Ketiga, bangkit bersama harus menjadi harapan dan agenda di awal tahun 2023. Dengan kata lain, kita harus berjalan bersama untuk menyambut masa depan yang indah di 2023. Sebab, kita hanya bisa sampai pada harapan yang demikian, bila kita mau bersatu dan bangkit bersama. Namun, kita hanya bangkit dalam situasi tergerus arus, bila kita saling menggenggam dan bersatu.
Sebagai manusia, kita dipanggil untuk hidup dalam persekutuan dan solidaritas satu dengan yang lain, membina dan mengembangkan keintiman dan perasaan senasib sepenanggungan. Dalam persekutuan solidaritas, kita dituntut untuk saling menghargai keunikan krakter tiap orang dan kebutuhan masing-masing individu yang khas, sekaligus terbuka untuk saling menghargai dan menerima perbedaan. Lebih dari itu, kita dituntut untuk bersedia bekerja sama untuk menyaksikan mimpi dan harapan kebangkitan bersama.
Bertolak dari makna Perichoresis Trinitas, kesadaran untuk hidup dalam persekutuan dan menghidupi relasi cinta kasih antar individu diperlukan. Memahami dan menata relasi untuk bangkit, bersatu dan bersolider harus berakar pada relasi mutual Allah Trinitas. Kita dipanggil untuk ada dalam relasi sebagaimana Allah adalah Allah yang relasional. Kualitas dan dinamika relasi itu bisa bermacam-macam. Mutu relasi dalam sebuah persekutuan adalah relasi timbal balik yang saling memberdayakan. Kita dipanggil untuk berada dalam relasi yang saling menguatkan.
Dalam konteks Perichoresis, kita harus membangun relasi persekutuan untuk bergerak bersama dalam suatu tarian yang indah dan menawan. Kita harus saling menggenggam, membentuk lingkaran, mengatur ritme yang seimbang untuk menampilkan sebuah tarian yang indah. Dalam konteks ini, mutualitas menjadi sangat penting. Mutualitas dengan demikain berarti bersedia mengakui bahwa kita yang berbeda-beda saling membutuhkan untuk bisa tetap hidup. Hanya jika kita mengakui bahwa kita berbeda, kita dapat saling melengkapi dan menjadi utuh. Upaya untuk menciptakan keutuhan harus dilakukan secara bersama-sama antar indivudu dan kelompok. Penghargaan dan penerimaan terhadap perbedan sangat penting untuk mencapai 2023 yang penuh harapan ini.
KESIMPULAN
Tahun 2023 terbentang dihadapan kita. Alih-alih menegaskan bahwa berbagai fenomena akan terjadi di depan. Perjalan panjang pada 2023 akan diwarnai dengan berbagai krisis; ekonomi, pangan, energi dan sebagainya. Masyarakat akan berhadapan dengan berbagai tekanan dan krisis sebagai konsekuensi dari perubahan global. Selain itu, kita akan berhadapan dengan situasi politik. Ujian bagi demokrasi yang kita pegang erat sebagai bangsa, akan menjadi sebuah realitas yang wajib dihadapi. Intuisi kita harus difungsikan untuk bekerja maksimal agar sedapat mungkin kita menemukan solusi yang tepat untuk menjaga relasi kita sebagai individu-individu dalam masyarakat.
Menghidupi relasi mutual sebagai agenda solidaritas adalah penting, sebab itu adalah prinsip eksistensial. Bangkit, bersatu dan bersolider adalah agenda sekaligus misi di tengah-tengah dunia yang terus berubah. Sebagaimana Bung Karno berujar bahwa “Bersatu kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh” maka, gagasan ini adalah prinsip hidup manusia. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang relasional. Memaknai dan menghidupi relasi adalah amanah bagi manusia yang relasional. Menjalani dan melintasi 2023 adalah sebuah kegembiraan, bila mimpi dan harapan akan solidaritas dalam relasi digaungkan sebagai agenda bersama. Deo Auxilium (Sampai disini Tuhan Menolong).