Kalabahi, FkkNews.com – Sekertaris Organisasi Alor Corruption watch (ACW), Aldy Mooy menyampaikan pandangannya mengenai perlunya peran aktif Kejaksaan Negeri (Kejari) Alor dalam mengawasi pengelolaan dana desa di wilayah Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Menurut Aldi saat menghubungi wartawan media ini pada Rabu, (13/08/2025) dana desa yang cukup besar harus bisa menghadirkan perubahan signifikan bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa.
Ia mengatakan keberadaan dana desa yang nilainya cukup besar setiap tahun semestinya mampu menghadirkan perubahan nyata di tingkat desa, namun kondisi di lapangan menunjukkan bahwa hasil pembangunan belum sepenuhnya mencerminkan besarnya anggaran yang dikucurkan.
“Dana desa ini ibarat darah segar bagi pembangunan di wilayah pedesaan. Jika mengalir dengan baik, maka desa akan tumbuh. Tetapi jika pengelolaannya tidak tepat, maka manfaatnya akan sulit dirasakan,” ujarnya melalui pesan Via whatapps.
Aldi menilai, salah satu kendala terbesar dalam mengungkap dugaan penyalahgunaan dana desa adalah kurangnya keberanian masyarakat untuk melapor. Faktor ini diperkuat dengan adanya ikatan kekeluargaan dan adat istiadat yang membuat sebagian warga memilih diam meskipun mengetahui adanya indikasi penyimpangan.
“Kita memahami bahwa masyarakat desa memiliki nilai budaya yang harus dihormati. Namun, di sisi lain, kepentingan bersama dan pembangunan desa juga tidak boleh terabaikan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Beberapa kecamatan dengan jumlah desa terbanyak seperti Kecamatan Alor Timur Laut, Alor Tengah Utara, dan Teluk Mutiara mendapat porsi besar dari total dana desa, mengingat luas wilayah dan jumlah penduduknya.
Dijelaskan Aldy berdasarkan data pemerintah, alokasi dana desa untuk Kabupaten Alor pada tahun 2024 mencapai Rp 132,06 miliar untuk 158 desa, dengan besaran dana yang berbeda-beda. Desa Probur menerima alokasi terbesar sekitar Rp 1,20 miliar, sedangkan desa dengan alokasi terkecil memperoleh sekitar Rp 644 juta.
Pada tahun 2025, lanjutnya, anggaran yang digelontorkan mencapai Rp 131,56 miliar. Desa Probur kembali menjadi penerima terbesar, yakni sekitar Rp 1,32 miliar, disusul Desa Blang Merang sebesar Rp 1,17 miliar dan Desa Mauta sekitar Rp 1,12 miliar.
Dengan nilai sebesar ini, menurut Sekretaris ACW, seharusnya perkembangan infrastruktur, fasilitas umum, dan pemberdayaan masyarakat dapat terlihat lebih jelas dari tahun ke tahun.
Ia juga menyinggung soal Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang dinilai belum berfungsi optimal dalam menjalankan peran pengawasan.
Tantangan geografis berupa letak desa-desa yang terpencil, ditambah keterbatasan sumber daya manusia, membuat fungsi kontrol terhadap pemerintah desa menjadi lemah.
“Kita tidak sedang menyalahkan siapa pun. Ini lebih pada ajakan bersama untuk memperbaiki sistem. Pengawasan yang lemah akan membuat pemerintah desa bekerja tanpa rambu yang jelas, dan itu berisiko bagi pembangunan,” katanya.
Sekretaris ACW menekankan bahwa Kejari Alor memiliki posisi strategis untuk memastikan dana desa dikelola dengan transparan dan akuntabel. Ia berharap Kejari tidak hanya menunggu laporan, tetapi dapat mengambil inisiatif melakukan pemetaan dan penelusuran langsung ke desa-desa.
“Dengan cakupan 18 kecamatan dan 158 desa di Kabupaten Alor, pendekatan menyeluruh sangat penting. Bukan hanya untuk mencari pelanggaran, tetapi juga untuk memberikan pendampingan hukum agar aparat desa dapat mengelola anggaran sesuai aturan,” ucapnya.
Ia menegaskan, pendekatan penegakan hukum di wilayah pedesaan sebaiknya mengutamakan pembinaan dan edukasi hukum, bukan semata-mata penindakan. Dengan demikian, aparat desa tidak merasa terpojok, dan masyarakat pun menjadi lebih paham hak serta kewajibannya.
“Kalau kita datang hanya untuk menghukum, maka sikap tertutup akan semakin menguat. Tetapi kalau kita hadir dengan edukasi, mereka akan mau membuka diri. Inilah yang saya harap bisa dilakukan oleh semua pihak, termasuk Kejari, tutupnya. (FKK/Eka Blegur).