Kalabahi, FkkNews.com – Kisruh penyerapan APBD Alor 2025 semakin mengemuka setelah dua pernyataan berbeda dilontarkan oleh pejabat publik. Wakil Bupati Rocky Winaryo menyebut serapan sudah 43 persen, dengan belanja modal 40 persen. Sementara Ketua DPRD Paulus Brikmar mengungkap fakta berbeda: realisasi anggaran murni baru sekitar 11 persen, belanja modal belum menyentuh 20 persen.
Dua angka yang bertolak belakang ini bukan sekadar beda perspektif. Ia adalah cermin dari buruknya tata kelola anggaran dan rapuhnya akuntabilitas politik di Alor. Publik pun terjebak dalam kabut: siapa yang sebenarnya berbicara jujur?
Publik Dibohongi dengan Angka
Pemerintah daerah berdalih bahwa metodologi perhitungan berbeda. Mereka bisa saja memasukkan belanja rutin, gaji pegawai, hingga hibah untuk menutupi rendahnya realisasi belanja modal. DPRD, di sisi lain, menyoroti belanja fisik yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat. Tetapi mari kita bicara jujur: rakyat tidak peduli metodologi. Yang mereka lihat adalah apakah jalan sudah dibangun, sekolah direnovasi, dan puskesmas berfungsi.
Klaim Pemda bahwa serapan sudah di atas 40 persen hanyalah angka di atas kertas jika tidak dibarengi bukti di lapangan. Angka bisa dipoles untuk membangun citra, tetapi realitas tak bisa disembunyikan. Jalan rusak tetap rusak, pelayanan publik tetap macet.
Transparansi: Kata yang Hilang dari Kamus Pemda
Masalah paling serius adalah ketiadaan transparansi anggaran. Hingga kini, situs resmi BKAD Alor tidak menampilkan laporan realisasi APBD 2025. Laporan terakhir yang dipublikasikan hanya sampai tahun anggaran 2023. Artinya, klaim Pemda dan koreksi DPRD sama-sama tidak dapat diverifikasi masyarakat.
Transparansi yang absen membuka ruang untuk manipulasi. Tanpa data resmi, publik hanya bisa menelan mentah-mentah klaim pejabat. Padahal, uang APBD bukan milik eksekutif atau legislatif—itu adalah uang rakyat. Menutup akses informasi berarti merampas hak dasar warga untuk tahu bagaimana pajak dan dana transfer pusat dipakai.
Sebagai Generasi Muda Alor, saya melihat ini bukan sekadar kelalaian birokrasi, tetapi indikasi kesengajaan. Semakin kabur data, semakin mudah angka dipelintir sesuai kepentingan politik.
Anggaran Mengendap, Pembangunan Terhambat
Jika benar belanja modal baru belasan persen di akhir triwulan III, ini adalah bencana manajemen. Proyek fisik seharusnya mulai menggeliat sejak awal tahun, bukan menumpuk di ujung. Rendahnya serapan menunjukkan lemahnya perencanaan, keterlambatan lelang, bahkan dugaan ada permainan dalam proses tender.
Akibatnya, uang miliaran rupiah mengendap di kas daerah. Padahal, setiap rupiah yang tidak terserap adalah kesempatan yang hilang untuk memperbaiki jalan, membangun ruang kelas, atau menyediakan fasilitas kesehatan. Anggaran yang seharusnya memutar roda ekonomi justru membuat ekonomi stagnan. Kontraktor tidak bekerja, tenaga harian tidak mendapat upah, UMKM lokal kehilangan order. Yang menderita bukan pejabat, melainkan rakyat kecil.
Politik Angka, Bukan Politik Kinerja
Perbedaan klaim antara Pemda dan DPRD juga menelanjangi wajah politik lokal yang lebih sibuk mengelola citra ketimbang kinerja. Eksekutif berlomba menampilkan optimisme, sementara legislatif melempar kritik tanpa menghadirkan solusi struktural. Sementara itu, rakyat hanya dijadikan penonton yang dicekoki perdebatan angka tanpa manfaat nyata.
Padahal, fungsi DPRD bukan sekadar mengkritik. Mereka wajib mendorong keterbukaan data, memanggil OPD yang lamban, bahkan menggunakan hak interpelasi bila perlu. Sebaliknya, Pemda harus berhenti menggunakan angka sebagai propaganda. Yang dibutuhkan Alor bukan statistik, tetapi pembangunan nyata.
Krisis Akuntabilitas
Situasi ini sesungguhnya mencerminkan krisis akuntabilitas. Ketika dua institusi resmi menyampaikan angka yang berbeda jauh, maka yang hilang bukan hanya kepercayaan publik pada Pemda, tetapi juga pada DPRD.
Saya menegaskan: kepercayaan adalah modal politik terpenting. Sekali publik merasa dibohongi, sulit untuk dipulihkan. Generasi muda seperti saya sudah muak melihat elit yang lebih sibuk berdebat angka daripada bekerja untuk rakyat.
Jalan Keluar: Revolusi Transparansi
Kebuntuan ini hanya bisa diputus dengan satu langkah: revolusi transparansi anggaran.
1. BKAD wajib mempublikasikan realisasi APBD 2025 per triwulan, lengkap dengan rincian belanja rutin dan belanja modal.
2. DPRD harus memastikan publik punya akses ke data tersebut, bukan hanya lewat rapat internal, melainkan forum terbuka.
3. Media lokal dan organisasi masyarakat sipil perlu menekan Pemda untuk membuka dashboard digital realisasi anggaran secara real-time, sebagaimana sudah dilakukan banyak daerah lain.
Tanpa itu, APBD Alor hanya akan menjadi “anggaran semu”: besar di atas kertas, minim di lapangan.
Penutup: Suara Generasi Muda
Sebagai Generasi Muda Alor, saya tidak akan tinggal diam melihat uang rakyat diperlakukan sebagai angka permainan elit. Kami menuntut kejujuran, keterbukaan, dan kinerja nyata. APBD bukan bahan propaganda politik. Ia adalah amanat konstitusi untuk menyejahterakan rakyat.
Cukuplah rakyat Alor selama ini hidup dalam keterbatasan. Jangan biarkan mereka kembali ditipu dengan statistik kosong. Kami, generasi muda, menolak dibohongi. Kami menuntut: buka data, serap anggaran, bangun Alor.
Opini Ini ditulis oleh salah satu generasi muda Alor, Sanji Hasan kepada wartawan media ini. (FKK/Eka Blegur).