Kupang, FKKNews.com – Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Nusa Cendana (Undana), Dr. Jhon Tuba Helan menanggapi opini yang ditulis staf khusus Penjabat Walikota Kupang, Bidang Hukum, HAM dan Tata Negara, Dr. Yanto M. P. Ekon, SH, M.Hum., tentang “Pengangkatan Staf Khusus menurut Data dan Fakta” yang di publikasi oleh salah satu media online, pada Minggu (2/4/2023).
Tidak hanya tentang pengangkatan staf khusus, namun isi opini yang ditulis dosen Fakultas Hukum UKAW ini menyasar banyak hal, mulai dari otonomi daerah, data kepala daerah yang mengangkat staf khusus, hingga paparan manajemen ASN, opini tersebut kemudian di tanggapi Pakar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Undana, Dr. John Tuba Helan, Senin (3/4/2023). Menurutnya UUD 1945 maupun aturan dibawahnya termasuk UU tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk mengangkat staf khusus .
“Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 tidak bisa jadi dasar hukum pengangkatan staf khusus serta Pasal 65 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur tentang Staf Khusus, sehingga pemberian wewenang pengangkatan staf khusus harus diatur secara eksplisit, bukan implisit yang butuh penafsiran,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut dosen senior Undana ini, definisi diskresi yang di sampaikan oleh staf khusus Penjabat Walikota Kupang, Bidang Hukum, HAM dan Tata Negara, Dr. Yanto M. P. Ekon, SH, M.Hum., tidak harus diartikan sesuai keinginan, namun harus ada batasannya.
“Diskresi tidak bisa sesuka hati tapi harus ada ruang yang diberikan oleh hukum, misalnya rumusan bahwa kepala daerah dapat mengangkat staf khusus untuk membantu penyelenggaraan otonomi daerah, tanpa rumusan seperti ini seorang kepala daerah tidak bisa melakukan diskresi,” tegasnya.
Tuba Helan juga menyinggung tentang paparan Dr. Yanto Ekon bahwa ada dua belas daerah yang mengangkat staf khusus, menurutnya, hal itu tidak bisa dijadikan patokan bagi Penjabat Walikota Kupang untuk mengangkat staf khusus, “Fakta di daerah lain, tidak bisa dijadikan sebagai dasar argumentasi bahwa yang lain boleh kita juga boleh, harus disebutkan argumentasi dasar hukum staf khusus dalam peraturan perundang-undangan dan apa urgensinya,” imbuhnya.
“Saya sudah baca semua referensi tidak ditemukan pengaturan tentang staf khusus, kewenangan pengangkatan staf khusus diatur secara implisit, harus eksplisit, tegas dan jelas dalam peraturan perundang-undangan,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa staf khusus dianggap ilegal kalau tidak diatur dalam UU, dalam peraturan daerah yang mengatur tentang staf khusus harus sama dengan UU, sehingga ada aturan terlebih dahulu baru bisa diangkat staf khusus oleh Pejabat yang berwewenang.
“Selama tidak ada pengaturan mengenai staf khusus dalam peraturan perundang-undangan, maka tetap dianggap illegal. Harus ada pengaturan terlebih dahulu baru bisa mengangkat orang untuk menempati posisi staf khusus, jika ada pengaturan di tingkat lokal yang mengatur staf khusus, maka aturan tersebut harus sinkron dengan aturan nasional yang lebih tinggi,” tutupnya.
Sebelumnya, Dr. Yanto Ekon menulis opini di salah satu media online dengan judul “Pengangkatan Staf Khusus menurut Data dan Fakta”
Dalam tulisannya Dr. Yanto Ekon memaparkan Dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk mengangkat Staf Khusus adalah Pasal 18 ayat (2) dan (6) UUD’1945 dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 atau dalam tulisan ini disebut Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Pasal 18 ayat (2) UUD’1945 merupakan landasan konstitusional yang memberikan kewenangan kepada Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, sedangkan ayat (6) memberikan hak kepada Pemerintahan Daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain guna melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah yang dimaksudkan adalah Pemerintah Daerah dan DPRD (Pasal 1 angka 2 UU 23/2014), sedangkan Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah.
Lebih lanjut Ia menyampaikan bahwa Pasal 65 Undang-Undang Pemerintahan Daerah menetapkan tugas Kepala Daerah antara lain memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Salah satu kewenangan Kepala Daerah dalam memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan Daerah tersebut adalah menetapkan Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah (Pasal 65 ayat (2) huruf c UU 9/2015).
Ia menjabarkan bahwa Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (6) UUD’1945 Jo. Pasal 65 Undang-Undang Pemerintahan Daerah merupakan dasar kewenangan bagi Kepala Daerah untuk mengangkat Staf Khusus Pemerintah Daerah karena 2 (dua) alasan. Pertama; pengangkatan Staf Khusus Pemerintah Daerah didasarkan atas Keputusan Kepala Daerah dan kedua; tidak ada satu peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit maupun implisit melarang Kepala Daerah untuk mengangkat Staf Khusus. Alasan kedua ini sesuai pula dengan pendapat Prof Dr. Mahfud MD dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR-RI, pada tanggal 29 Maret 2023 menit 02:04-02.23 yang intinya menyatakan “di dalam hukum sesuatu yang tidak dilarang boleh dilakukan, sampai dengan terbitnya aturan yang melarang keputusan atau tindakan tersebut”.
Ia mengatakan Peraturan perundang-undangan yang memuat larangan pada umumnya ditetapkan secara tegas. Sebagai contoh Pasal 96 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 Tentang Manajemen PPPK menetapkan: (1) PPK dilarang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN; (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah yang melakukan pengangkatan pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK; (3) PPK dan pejabat lain yang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Demikian pula Lampiran Permendagri Nomor 27 Tahun 2021 Tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2021 Huruf E angka 14 halaman 345 menetapkan “……..Penganggaran atas formasi pengangkatan PPPK merupakan bagian dari belanja wajib paling sedikit sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari alokasi Dana Transfer Umum (DTU) sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 11 ayat (21) UU RI Nomor: 9 Tahun 2020 Tentang APBN Tahun Anggaran 2021, sehingga penggunaannya secara spesifik atau bersifat earmarked dan tidak dapat digunakan untuk belanja lain. Apabila ketentuan peraturan perundang-undangan memuat larangan untuk membuat suatu keputusan atau tindakan, tetapi larangan itu tetap tidak dipatuhi barulah disebut perbuatan melanggar hukum dan kepada si pelanggar dapat dijatuhkan sanksi. (FKK03)