Menabur Cinta, Merajut keramahtamahan (Hospitalitas)

Oleh: Florit P. Tae

 

“Engkau dan aku disini, dan aku harap Kristus diantara kita sebagai yang ketiga” ( Aelred of Rievaulx)

 

Kehidupan bersama dalam berbagai perbedaan merupakan tantangan yang serius. Dalam konteks perbedaan, kehidupan menarik orang untuk memasuki ruang-ruang privat orang lain dan kemudian berjalan bersama memasuki ruang publik. Hal ini, membutuhkan kerelaan dan keterbukaan yang tulus untuk menerima orang lain, sekaligus memberi diri untuk berjalan bersama. Karena itu, keterbukaan dan prinsip hidup yang cair memiliki nilai yang penting dalam ruang kebersamaan. Keramah tamahan merupakan sebuah prinsip hidup yang menginspirasi persekutuan terbuka.

 

Kekacauan kini merengkuh kebersamaan dalam ruang publik 

Hari-hari ini, kekacauaan menjelma dalam rupa kebencian, kepentingan individu, kepentingan kelompok, kepentingan warna, suku, agama dan sebagainya. Ruang publik sebagai ruang perjumpaan individu-individu dengan berbagai latar belakang tidak lagi menampilkan kegembiraan dan kenyamanan bagi setiap orang untuk berkreasi, mengembangkan potensi demi kepentingan bersama. Gegap gempita kepentingan pribadi dan kelompok meredupkan bahkan memadamkan kepentingan umum. Ruang publik menjelma menjadi panggung sandiwara, mempertontonkan keserakahan, kesombongan dan keegoisan, lalu megkerdilkan nilai kebersamaan, sopan santun dan penghargaan yang mulia dan luhur.

Semboyan-semboyan pemersatu yang dikumandangkan oleh berbagai suku, agama, ras dan sebagainya, yang sesungguhnya dapat dielaborasi demi keutuhan bersama, hanya akan menjadi narasi penyejuk bagi generasi-generasi yang akan datang. Setiap individu di ruang publik sekan menjadi lupa ingatan terhadap sejarah (amnesia History). Butir-butir kata setiap semboyan yang memiliki jiwa mepersatuakan, sekarang seakan dibantah dengan sangat rapi oleh kepentingan yang sifatnya sementara. Ruang publik kita, direngkuh oleh kekacauan yang sesungguhnya dapat diatasi dengan cara berpikir yang ramah dari setiap individu kepada individu-individu yang lain.

Cara berpikir yang ramah dan mendamaikan, hari-hari ini teropsesi dengan keinginan yang tinggi untuk menguasai. Dalam ruang-ruang pemerintahan misalnya, warna bendera organisasi, kelompok suku dan komunitas berupaya untuk menjadi yang “menguasasi”, lalu menjadikan orang lain dibawah. Selain itu, kepentingan-kepentingan jabatan, menjadi lebih diutamakan. Setiap individu dan kelompok berupaya menjadi lebih kaya dan sukses, lalu melegalkan berbagai cara, bahkan beusaha “membunuh” karena takut “dibunuh” dan sebagainya.

Tidak hanya perjumpaan-perjumpaan dalam dunia nyata (yang melibatkan perjumpaan fisik), dalam perjumpaan di ruang-ruang digital, komunikasi baik melalui media-media online (misalnya dalam group WA, Facebook, Twiter dll) tidak lagi ramah satu dengan yang lain. Individu-individu dan kelompok saling menyerang, bahkan “membunuh”. Realitas ini demikian menjadi penyakit yang akut dan menjadi tantangan yang sangat serius dalam ruang publik kita.

Masyarakat tidak menjadi individu-individu yang gelisah akan masa depan tanpa keramahtamahan. Namun, individu-individu lebih gelisah bila tidak mendapat ruang untuk menguasai yang lain. Semangat untuk mengeksploitasi hak-hak “yang lain” cenderung lebih penting, dibandingkan rendah  hati mengakui potensi dan kapasitas individu-individu, bahkan kelompok dan warna organisasi yang berbeda. Semua ini dilakukan atas nama kebebasan dan hak, seakan mereka lebih layak ada pada posisi-posisi tertentu. Realitas tersebut mestinya membangkitkan ketakutan dan kegelisahan terhadap masa depan masyarakat yang tidak ramah satu dengan yang lain. Selanjutnya, “kekacauan” tersebut seharusnya memberi kegelisahan yang lebih bahwa ruang publik kita sedang terkoyak, karena itu menuntut kita untuk  kembali merajut dan menenenunnya kembali.

 

Menabur Cinta, Merajut Keramah Tamahan (Hospitality)

Jika, kita berkata bahwa kondisi kita hari ini tidak menampilkan kekacawan, maka kita sedang menulis sejarah untuk menipu (berbohong) pada generasi yang sedang datang. Mereka tidak hanya bertanggung jawab menata konteks mereka, tetapi mereka berhak mendengar cerita-cerita jujur tentang konteks ruang publik masa kini. Karena itu, tanggung jawab kita sekarang, disini adalah menabur cinta, merajut keramah-tamahan. Cinta menghidupkan, bukan melemahkan. Cinta membangkitkan bukan mematikan. Cinta menuntun orang untuk memasuki ruang keramahtamahan, membangun relasi bebas merdeka, menikmati kegembiraan persahabatan.

Manusia pada prinsipnya adalah makluk yang mencintai. Dalam kehidupan, sebagai individu, ia mesti bersama degan subjek atau objek yang lain di sekitarnya untuk membagikan cinta yang dimilikinya. Tanpa subjek yang lain, manusia tidak memiliki rasa cinta yang terdefenisikan. Sebab, rasa cinta hanya dapat didefenisikan oleh subjek yang lain. Cinta dengan demikian adalah suatu perasaan emosional yang lahir dari jiwa, hati dan batin seseorang dan memiliki tujuan untuk dicurahkan kepada orang lain itu. Cinta pertama-tama sebagai sebuah “kekuasaan yang menggerakkan kehidupan”. Lebih jauh, Cinta menjadi semacam motor utama yang menggerakkan roda kehidupan. Kehidupan tidak akan menjadi nyata tanpa cinta yang mendorongnya. Kehidupan tidak ada tanpa cinta.

Cinta adalah perasaan emosional manusia yang tertanam dalam diri. Ia dikaruniakan oleh Tuhan, “dihembusi” untuk dihidupi. Cinta  adalah suatu kegiatan, berarti ia bukanlah benda melainkan lebih pada kerja, aktivitas, orientasi. Cinta  bukanlah komoditas barang yang  dapat dibarter  dan  diperjual belikan  apalagi dipaksakan  oleh  orang lain, karena  ia  tidak bisa terwujud dengan paksaan. Cinta adalah pilihan bebas yang  diberikan secara suka rela atas kemauan sendiri dan rasional. Oleh karena itu, dalam cinta dituntut kedewasaan dalam berpikir, serta kesadaran dalam memilih. Ekspresi tipikal cinta tidaklah mendominasi atau memiliki. Ekspresi ini, sebaliknya adalah pemberian secara mutual, yakni menerima dan memberi.

Relasi saling menerima mengandaikan persekutuan yang sadar akan perbedaan mendasar dalam diri masing-masing pribadi. Setiap orang pada dasarnya adalah berbeda satu dengan yang lain. Setiap orang dengan keunikannya tersendiri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi diri. Persekutuan dalam masyarakat harus saling menerima. Dengan demikian, dalam menciptakan keramahtamahan dalam ruang publik, hal yang penting adalah membangun relasi saling terbuka.

Relasi saling terbuka adalah bentuk relasi yang hanya terjadi dalam komunitas yang terdapat perbedaan. Berbicara tentang relasi, hanya mungkin dibicarakan jika ada keberagaman baik suku, entitas, agama dan lain sebagainya. Keberagaman adalah suatu kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, mengutip Aelred of Rievaulx, ia pernah menulis, “Engkau dan aku disini, dan aku harap Kristus diantara kita sebagai yang ketiga”. Aelred of Rievaulx hendak menegaskan bahwa Kristus adalah Sang Antara (The Beetwen), menjadi jembatan dalam setiap relasi dan perjumpaan kita. Kristus menjadi  pemersatu dan di dalam Kristus kita saling menjumpai satu dengan yang lain sebagai saudara dan menghidupi keramahtamahan.

Lebih lanjut, ditegaskan oleh Leonardo Boff, seorang Teolog sekaligus Filsuf dari Brasil. Ia berujar, “Ketika aku ingin membenci saudaraku, aku menatap wajahnya, lalu aku menjumpai wajah Kristus dalam wajah saudaraku. Di situ aku berpikir, bagaimana mungkin aku dapat membenci saudaraku, yang dikasihi Tuhanku?”. Kristus dapat dijumpai di dalam wajah saudara-saudari yang kita jumpai sehari-hari. Jadi, tidak ada alasan untuk membenci, selain menciptakan ruang keramahtamahan (Hospitality).

Keramahtamahan dapat hadir dalam ruang publik. Keramahtamahan menuntut keterbukaan yang hakiki. Solusi radikal yang dapat merajut kembali keramahtamahan yang terkoyak adalah individu-individu berupaya dengan tulus dan rendah hati menabur cinta. Hanya cinta yang dapat menenun kembali keramahtamahan pada ruang publik. Cinta merupakan suatu tindakan yang berasal dari manusia merdeka yang dengan kemerdekaanya kemudian memutuskan untuk mencintai orang lain atau sesamanya.

Sebagai kesimpulan, Cinta berasal dari diri manusia di mana Cinta sendiri memanggil manusia yang lain untuk selalu mengadakan hubungan AkuEngkau antar manusia. Pertemuan antara Aku dan Engkau dalam ikatan Cinta itulah yang membuat “Kita” menjadi nyata. Cinta inilah yang menghadirkan persekutuan antar manusia. Cinta semacam ini bersifat transenden karena mengatasi, bahkan melintasi perbedaan-perbedaan manusia antar pribadi. Ketika mencinta, manusia mentransendensi dirinya dengan cara keluar dari sifat individualnya dan bergabung dalam individualitas sesama yang ia Cintai. Ia berpartisipasi aktif dalam individualitas sesamanya. Maka hanya dengan Cinta, manusia pada akhirnya dapat mengalami kepenuhan dalam eksistensinya sebagai manusia. Ia menjadi manusia penuh dalam Cinta.

Selamat menabur cinta, untuk merajut keramahtamahan. Itulah hakekat hidup bersama manusia mulia.

Salamat hari raya Waisak bagi Sahabat yang merayakan.

Hot this week

“Sabar Menderita Karena Kebenaran Kristus” Minggu sengsara III , 25 februari 2024

Shalom. Sahabat sepelayanan selamat menikmati pemeliharaan Tuhan dan selamat...

Ngaku Bisa Loloskan Siswa ke SMAN 1, Guru PNS di Kota Kupang Tipu 9 Ortu

Kupang, FKKNews.com - Oknum Guru di kota Kupang atas...

Kasus Pembunuhan terhadap Mahasiswa Asal Alor Bukan Berawal Dari Syukuran Pesta Wisuda, Berikut Penjelasan dari AKP Jemy Noke

Kupang, FkkNews.com - Kasus pembunuhan yang terjadi di Kelurahan...

Tepati Janji Kampanya, Wali Kota Kupang Christian Widodo Wujudkan Program Liang Kubur Gratis

Kupang, FKKNews.com - Pemerintah Kota Kupang mewujudkan salah satu...

Ketua Umum Partai Nasdem Surati KPU RI Terkait Pengunduran Diri Caleg DPR RI Ratu Wulla Saat Rekapitulasi Nasional

Jakarta, FKKNews.com - Saksi dari Partai Nasdem menyampaikan surat...

Pengkab PBVSI TTS Gelar Muskab di Aula SMAN I Soe : Bukti Organisasi Berjalan Secara Sehat

Soe, FKKNews.com - Pengkab PBVSI Kabupaten Timor Tengah Selatan...

Paulus Adu dan Jemmy Kota Terpilih Sebagai Ketua dan Sekretaris DPC GAMKI Belu Periode 2025-2028

Atambua, FKKNews.com - DPC GAMKI Belu melaksankan kegiatan Konfercab...

“Surga dan Neraka” Renungan GMIT, Ibadat Minggu 28 September 2025

Kupang, FKKNews.com - Shalom Sahabat sepelayanan selamat menikmati pemeliharaan...

Besok DPC GAMKI Belu Akan Gelar Kegiatan Maperta dan Konfercab

Atambua, FKKNews.com - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) GAMKI Kabupaten...

Usai Voting Dari Senat : Prof Jefri Bale Tetap Berkomiten Jadikan Undana Sebagai Locally Relevant University

Kupang, FKKNews.com - Tahapan pemilihan rektor Universitas Nusa Cendana...

Raih Suara Terbanyak Dari Senat : Prof Apris Adu Sebut Undana Butuh Pemimpin Yang Miliki Kemampuan Manajerial

Kupang, FKKNews.com - Tahapan pemilihan rektor Universitas Nusa Cendana...
spot_img

Related Articles

Popular Categories

spot_imgspot_img