Dijelaskan, laporan kasus dugaan korupsi Embung Nifuboke dan Jl. Nona Manis oleh Araksi merupakan laporan informasi. “Benar atau tidaknya laporan dugaan korupsi, itu menjadi kewenangan APH. Kalau tidak benar, yah dihentikan/dipetieskan/di SP3 kasusnya. Kalau AB berkoar-koar di media tapi tidak ada korupsinya, itu kasus fitnah. Itu Tipidum dan delik aduan Pak Kajari. Masa Pak Kajari proses laporan dugaan pemerasan dan fitnah yang menjadi ranah kepolisian? Ini aneh!’ tegasnya.
Roy mengingatkan Kejari TTU bahwa penggunaan pasal 23 UU Tipikor untuk menjerat AB adalah sangat tidak tepat. “Pasal ini berada dalam Bab III yang mengatur tentang Tindak Pidana Lain yang Terkait Perkara Korupsi. Pasal 23 ini berbunyi, “Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 442, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 Juta (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300 Juta (Tiga ratus juta rupiah),” Kutipnya.
Pertanyaannya, lanjut Roy, AB memberikan laporan/keterangan palsu di bawah sumpah (dalam sidang pengadilan, red) dalam Perkara korupsi yang mana sehingga AB bisa diproses dengan pasal 23 UU Tipikor dengan ancaman 6 tahun? “Proses hukum terhadap saksi palsu pun harus dengan penetapan pengadilan tentang keterangan/laporan palsu. Berdasarkan penetapan hakim tersebut baru jaksa bisa memproses saksi yang memberikan laporan palsu,” paparnya.
Menurut Roy, Kajari TTU harus menjelaskan tentang kapan? Dimana? Dan dalam Perkara korupsi yang mana AB memberikan laporan/keterangan palsu di bawah sumpah (dalam sidang Pengadilan, red)? “Dari Pengadilan mana? Dan nomor berapa penetapan pengadilan tentang laporan palsu AB?” tegasnya.
Tidak hanya itu, kata Roy, namanya kasus korupsi harus ada kerugian negaranya. “Berapa kerugian negara dalam Perkara Korupsi Embung Nifuboke? Kan masih dalam audit BPK RI. Perkara korupsinya saja belum disidik kok sudah ada laporan palsu?” kritiknya.
Menurut Roy, penggunaan Pasal 23 UU Tipikor oleh Kejari TTU untuk menjerat Ketua Araksi, AB adalah sangat bertentangan dengan UU Tipikor Bab V Pasal 41 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tipikor serta perlindungan hukum terhadap saksi pelapor.
“Sesuai Pasal 41, seharusnya kejaksaan melindungi Ketua Araksi sebagai saksi/pelapor. Bahkan sesuai Pasal 42 UU Tipikor, saksi pelapor harusnya diberi penghargaan. Bukan sebaliknya, malah memproses hukum pelapor. Aparat hukum kok menjungkirbalikkan hukum? Kalau seperti ini, tidak ada masyarakat yang berani melapor kasus korupsi karena takut dikriminalisasi,” kritiknya lagi.
Siapapun, lanjut Roy, tidak dapat menyangkali fakta bahwa Embung Nifuboke tidak berfungsi untuk menangkap dan menampung air hujan. “Tapi mengapa Kejari TTU tidak memproses hukum Kontraktor, PPK dan Kadisnya? Tapi malah memproses hukum saksi pelapornya, Anehkan? Janganlah memutarbalikkan fakta!” tegasnya.
Roy juga mewanti-wanti agar Kejari TTU tidak diperalat para oknum terduga koruptor dan elit politik tertentu. “Saya ingatkan agar Kejari TTU jangan sampai diperalat pihak-pihak yang dilaporkan AB atau elit politik tertentu untuk balas dendam,” tandasnya.
Ia menilai, penjelasan Kajari TTU sebagaimana diberitakan berbagai media setiap harinya selalu berubah-ubah. “Ibarat angin, penjelasan Kajari TTU berubah setiap hari. Tapi tidak menyentuh substansi kasus yang sebenarnya. Malah terus melebar ke hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan Pasal 23 UU Tipikor,” kritik Roy.
Misalnya, lanjut Roy, apa hubungannya MoU Pemkab Malaka dengan Araksi terkait Laporan Palsu Embung Nifunoke dan Jl. Nona Manis? “Apa hubungannya AB sebagai ‘kaki-tangan’ politik dengan kasus Embung Nifuboke dan Jl. Nona Manis? Apa hubungannya dugaan pemerasan sejumlah kepala desa dan pengusaha dengan laporan Araksi tersebut? Apa hubungannya dana sekitar Rp 1 M yang mengalir ke rekening AB terkait laporan palsu Embung Nifuboke dan Jl. Nonamanis?” tanyanya kritis.
Subtansi masalah tersebut di atas dan OTT terhadap AB, kata Roy, tidak dijelaskan oleh Kajari Lambila secara transparan alias terang benderang. “Ada apa ini? Kok terkesan ditutup-tutupi? Tidak mengherankan kalau beredar informasi bahwa proses hukum dan OTT terhadap AB direkayasa. Saya kira Pak Kajari sebagai Kajari Terbaik se-Indonesia akan menjelaskan semua pertanyaan ini dengan gentlement,” tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, kasus ini bermula ketika Ketua Araksi NTT, AB dipanggil untuk diperiksa di Kejari TTU pada tanggal 14 Februari 2023. Di saat itu langsung dilakukan penggeledahan rumah AB. Kejari TTU pun menyita HP dan 1 unit laptop milik AB. Petang hari itu juga, AB ditangkap Kejari TTU dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dipimpin langsung Kajari TTU, Robert Lambila di Kota SoE. Barang bukti dari ITT tersebut berupa uang tunai Rp 10 Juta.
Namun hingga kini Kejari TTU masih menyembunyikan oknum yang memberi uang Rp 10 juta kepada AB. Kejari TTU juga tidak pernah memberikan penjelasan tentang kaitan oknum tersebut dengan Embung Nifuboke atau kasus Jl. Nona Manis yang dilaporkan Araksi. (FKK01/tim)