Refleksi Sumpah Pemuda : Pemuda Indonesia dan Tantangan Peradaban Menuju Generasi Emas 2045
Setiap tahun , tanggal 28 Oktober menjadi momen bagi kita untuk mengenang dan merefleksikan makna sumpah pemuda. Sumpah pemuda, yang merupakan hasil Keputusan Kongres Pemuda kedua di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928, menandai bersatunya pemuda Indonesia dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Semangat persatuan ini menjadi pendorong bagi rakyat Indonesia, sehingga 17 tahun setelahnya, Indonesia berhasil meraih kemerdekaan dan cita-cita Indonesia Raya terwujud.
Deklarasi yang dicanangkan pada tahun 1928 ini bukan sekedar ucapan, melainkan sebuah ikrar suci dari pemuda berbagai daerah untuk Bersatu, melupakan perbedaan demi Indonesia yang Merdeka, Bersatu dan berdaulat.
Peringatan sumpah pemuda menjadi relevan bagi generasi muda saat ini, khususnya di tahun 2025 sebagai pengingat bahwa semangat persatuan, pengorbanan, dan kebersamaan adalah fondasi yang abadi dalam menghadapi berbagai tantangan bangsa.
Di era globalisasi dan digitalisasi, kita dihadapkan pada tantangan baru, di mana budaya luar dengan mudah memengaruhi cara hidup dan pandangan pemuda Indonesia.
Dalam arus globalisasi ini, semangat persatuan yang terkandung dalam sumpah pemuda harus tetap menjadi prioritas. Persatuan bukan berarti mengesampingkan keberagaman budaya, suku, dan agama, tetapi merangkulnya sebagai kekayaan yang memperkuat identitas bangsa Indonesia.
Pesan penting bagi pemuda masa kini adalah menjaga keseimbangan antara keterbukaan terhadap kemajuan zaman dan kepekaan terhadap nilai-nilai local.
Di tengah dunia digital yang penuh informasi, pemuda harus mampu memilah informasi yang relevan dan positif untuk diadopsi, sambil tetap menghargai dan mempertahankan budaya serta tradisi local yang merupakan jati diri bangsa.
Sentiment SARA dan narasi intoleran, termasuk hate speech (ujaran kebencian) di media social, semakin mewarnai kehidupan berbangsa.
Saat ini, kita berada dalam fase perubahan yang sangat cepat berkat kemajuan teknologi. Teknologi telah membuka akses ke hal-hal yang tak terbayangkan di era 20-an, memungkinkan informasi menyebar dengan cepat dan mudah.
Dengan satu sentuhan, informasi bisa mencapai seluruh dunia; kitab bisa menghimpun dukungan lewat media social; dan pertemuan daring bisa diadakan tanpa kehadiran fisik.
Kita belajar dari Gerakan pemuda di Negara Nepal beberapa waktu lalu demonstrasi yang di inisiasi oleh pemuda pelajar/mahasiswa mengubah situasi politik social dengan membangun jejaring media sosila oleh generasi muda sehingga melahirkan Sejarah bangsa.
Bagaimana dengan pemuda Indonesia hari ini?
Perubahan yang begitu drastis ini bisa menjadi peluang dan tantangan bagi pemuda Indonesia dalam mewujudkan cita-cita Generasi Emas 2045. Tantangan yang dihadapi bukan lagi penjajahan, melainkan arus informasi yang massif dan bebas. Jika tidak disaring dengan baik, hal ini bisa berdampak negative pada kehidupan kita dan kehidupan bernegara.
Sebagai generasi yang hidup di tengah perkembangan teknologi, pemuda Indonesia harus waspada terhadap dengan positif dan negatifnya.
Kita harus mampu menjadi agen perubahan yang memanfaatkan teknologi untuk kemajuan Indonesia dan juga menjadi penyaring yang dapat mengurangi dampak buruk dari informasi yang beredar , seperti disinformasi, Hoax (berita bohong) dan hate speech (ujaran kebencian). Pemuda harus menjadi Kompas yang menavigasi cara hidup generasi emas dan memberikan kontribusi maksimal bagi Indonesia yang menghadapi bonus demografi.
Sebagaimana Indonesia akan menghadapi bonus demografi, Dimana secara data dan fakta dominasi oleh generasi Z. Badan Pusat Statistik 2024 mencatat, generasi milenial (69,38 juta jiwa) dan generasi Z (74,93 juta jiwa) data ini menjadi modal penting dalam mewujudkan Indonesai Emas yang dicita-citakan.
Mempersiapkan Generasi Emas 2045 adalah cita-cita luhur yang harus dimulai dari sekarang sebagai hutang peradaban pemuda kepada generasi penerus.
Pemuda harus mengambil posisi strategis di bidang politik (terbukti hasil pemilu/pilkada 2024 beberapa kepala daerah dan legislative didominasi oleh orang muda seperti Bupati Sikka,Wali Kota dan Wakil Wali Kota Kupang dan Wakil Bupati Kupang sebagai representative orang muda di bidang politik) social, dan kemasyarakatan ; memperkuat keyakinan terhadap Sumpah Pemuda agar tetap relevan; dan menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BISAKAH entitas bernama bangsa tetap ada? Pertanyaan sentral ini butuh untuk dikritisi lebih lanjut. Beberapa realitas terakhir seperti perpecahan suku, agama, juga golongan menjadi akar hilangnya sebuah nation (bangsa).
Jika ini tidak bisa dipikirkan secara lebih kritis dan jernih mungkin entitas yang bernama bangsa Indonesia mulai rapuh demi hari. Tulisan ini sekaligus menjadi refleksi kritis merayakan hari sumpah pemuda yang selalu didengungkan sebagai hari nasional(isme) tersebut.
Bangsa adalah sebuah kata yang cukup fenomenal , bahkan kontoversial. Lahirnya sebuah komunitas yang pada akhirnya disebut dengan bangsa selalu diwarnai oleh alur waktu (sejarah) yang mungkin tidak hanya berjalan mulus.
Sejarah biasanya menyajikan memori ”indah”, juga teratur sekaligus menghapus menghapus memori yang bisa merusak rasa kebersamaaan.
Menjaga alur sejarah berarti memberi ruang-ruang memori yang selalu mempesatukan dan sekaligus melupakan (baca:dengan sengaja menghilangkan) memori-memori kelam yang selalu menjadi pemecah hubungan persatuan antarsatu dengan yang lain dalam sebuah komunitas.
Untuk itu, memelihara entitas yang bernama bangsa Indonesia menjadi hal yang cukup krusial dan urgen Antropolog Benedict Anderson dalam bukunya “Imaged communities” menjelaskan bahwa lahirnya sebuah bangsa bukan terberikan (pregiven).
Bagi Anderson bangsa adalah “sebuah komunitas politis dan dibayangkan terbatas secara inheren dan memiliki kedaulatan”.
Bangsa merupakan sebuah komunitas terbayang karena mustahil bagi individu anggotanya untuk benar-benar pernah berinteraksi secara bebas dan “rela” melebur menjadi satu. Selain itu, terbatas dalam arti hanya orang-oarang tertentu yang memiliki syarat inheren adalah bagian dari bangsa.
Sedangkan kata “berdaulat” berarti bangsa-bangsa ini menganggap dirinya memiliki wilayahnya yang mandiri.
Namun, memelihara ‘imaged nation’ bukanlah sebuah keniscayaan. Ada ruang-ruang politik yang harus dibangun agar bangsa dapat tetap ada. Membangun kembali identitas naratif bangsa menjadi salah satu hal urgen memelihara entitas sebuah yang bernama bangsa Indonesia.
Membangun Kembali Identitas Naratif Bangsa Identitas naratif adalah seluruh ciri khas yang memungkinkan untuk mengidentifikasi kembali suatu bangsa sebagai kelompok yang setia pada cita-citanya.
Identitas bangsa tentang kebersamaan dalam perbedaan yang mempersatukan bangsa ini harus mula dibangun sejak masa kanak-kanak.
Norma-norma (terkhusus mencintai perbedaan) yang ditanamkan sejak usia dini hingga tingkat pendidikan yang paling tinggi, sangat berpengaruh pada pementukan diri dalam melihat identitas bangsa ini.
Identitas banga tentang perbedaan ini harus dibangun dalam sebuah “ignorance”(mengiyakan) perbedaan sekaligus membangun sebuah kepercayaan bahwa pihak yang lain tidak akan mengganggu keberadaan diri saya (ego) dalam sebuah kehidupan public.
Setiap orang harus mengamini sekaligus merasakan identitas bangsa yakni Indonesia yang hidup bersama dalam perbedaan (bukan berusaha untuk menyamakan semua perbedaan).
Identitas bangssa mengandaikan , pertama setiap warganya dapat merasakan identitasnya, dengan berdasarkan diri pada identifikasi model-model yang diusulkan oleh kelompok (bangsa), dimana masing-masing merasa sebagai anggotanya.
Perbedaan yang menuntut pemahaman yang hakiki mengenai toleransi harus menjadi dasar dan model dalam membangun hidup bersama. Model ini harus dapat diajarkan dan dihidupi setiap hari.
Perbedaan harus dimengerti sebagai sebuah hal kecil yang tidak bisa menegasikan sebuah kebersamaan sebagai satu bangsa yang dibangun dalm sejarah yang sama.
Kedua, perasaan memiliki identitas berasal dari tekad atau kecenderungan setipa warga untuk bertanggungjawab ats keberlangsungan ciri khas mereka, baik acuan pada “budaya yang sama”, dalam arti suatu system gagasan, tanda, cara bertindak, dan berkomunikasi, dan juga solidaritas serta kohesi sebagai keloompok.
Selain budaya dan tempat yang sama, pengalaman akan sejarah yang sama juga ikut mengkristalkan kebangsaan itu (Haryatmoko: 2010:121). Kedua nilai diatas tercermin dari sumpah yang didengungkan bersama oleh pemuda dari berbagai golongan dan etnis untuk merelakan perbedaan identitas dalam sebuah kehidupan bersama yang bernama Indonesia.
Selain itu, bangsa memiliki identitas naratif ditandai oleh kemampuannya menepati janji-janji, khususnya janji terhadap anggota-anggotanya.
Kemamapuan menepati janji merupakan identitas yang lebih tinggi (p Ricouer, 1990). Kemampuan menepati janji yang dimaksud adalah upaya untuk membangun sebuah kohesi sekaligus kesatuan dan persaudaraan dalam perbedaan.
Janji harus ditepati oleh dua agen sekaligus, yakni dari pihak Negara dan juga masyarakat. Negara harus menepati janji untuk membangun kehidupan yang adil sehingga tidak ada rasa iri antara satu dengan yang lain. Selain itu, masyarakat pun harus berusaha menciptakan sebuah kehidupan dalam solidaritas dan saling menghargai. Janji menjadi sangat penting bagi kehidupan bersama dalam sebuah Negara.
Tanpa janji bangsa hanya sebuah rekayasa politik akan hidup bersama. Keberlangsungan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh “janji” akan kebersamaan yang jujur dan adil.
Kembali merangkai “imaged nation” akan Indonesia adalah kembali merajut nilai-nilai kebersamaan yang akan menjadi simpul pengikat berdirinya sebuah bangsa. Bangsa (nation) akan menjadi tinggal kisah jika simpul-simpul tersebut mulai hilang satu demi satu.
Negara Indonesia bisa saja tetap ada namun semangat ke (bangsa)an atau “nation” itu sendiri bisa saja mati terlebih dahulu jika simpul-simpul penikatnya mulai terurai. Hari peringatan sumpah pemuda harus dijadikan patokan untuk kembali mengikat simpul ke (bangsa) an Indonesia. Semoga!.(FKK03)
















































