Oleh Eduard Nautu
Sekfung Kader PP GMKI MB 2022-2024
Beberapa orang bisa saja mengatakan bahwa sepak bola dan politik tidak boleh dicampuradukan, tetapi kenyataannya ialah bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Seringkali kita juga mendengar orang-orang mengatakan bahwa sepak bola harus dijauhkan dari politik, menurut saya ini pandangan yang naif secara ekstrem karena Sepak bola pada dasarnya bersifat politis dan akan selalu begitu. Sejak abad ke-19, Liverpool F.C sudah menjadi tim yang cukup digilai oleh warga Merseyside. Pendukung Liverpool F.C sudah sejak lama dikenal dengan fanatisme dan kenakalannya. Namun, selain itu, mereka juga menjadikan sepak bola sebagai media bentuk perlawanan mereka, mengingat Liverpool adalah kota pelabuhan yang banyak kedatangan imigran dari berbagai negara di penjuru belahan dunia.
Perlawanan yang sangat nyata terjadi ketika mereka melakukan teriakan “Boo” ketika lagu kebangsaan Inggris “God Save The Queen” bergemuruh di stadion dan hal yang dirasa paling mengejutkan adalah ketika mereka dengan gamblang melabeli bahwa mereka bukanlah bagian dari Inggris, dengan bentangan bendera disisi lapangan yang bertuliskan “We’re Not English, We Are Scouse”. Liverpool menjadi kota yang berbeda dengan kota-kota di Inggris lainnya. Saat kota lain dengan mudah dikontrol dan memilih tunduk terhadap rezim, Liverpool jelas tidak dapat diperlakukan seperti kota lain. Liverpool secara terbuka menerima seluruh pendatang yang ingin hidup di kota pelabuhan. Berbagai kebudayaan dari beberapa warga negara pun menjadi satu di kota itu. Alhasil, eksistensi dan rasa percaya pada kerajaan tidak begitu menjadi sesuatu yang berharga di Liverpool.
Hal ini sudah jelas dapat menggambarkan bahwa Liverpool menjadi kota yang multikulturalisme dengan berbagai budaya yang berada didalamnya. Imigran, para pekerja pelabuhan dan aneka ragam budaya menjadi suatu entitas yang mewarnai kota Liverpool. Dalam aspek politik, pandangan ini kemudian memberikan pengaruh yang amat besar, sejak 1979, dalam setiap pemilihan, Liverpool mantap memilih Partai Buruh sayap kiri. Sementara itu, sebagian besar kota di Inggris mengarah ke kanan. Dari sana, Liverpool pun akhirnya “dikucilkan” di Inggris. Mereka dianggap kota yang tidak menghargai sang ratu oleh kota-kota Inggris lainnya, sering mendapat perlakuan tak adil dari pemerintah, hingga dianggap musuh besar orang-orang konservatif.
Soal perlakuan buruk pemerintah Inggris terhadap Liverpool, kebijakan Margareth Thatcher, Perdana Menteri Inggris pada era 80-an, bisa dilihat sebagai pengingat.Tak harus saya urai, tapi jika Sepakbola dilepas pisahkan dari Politik, maka kemenangan Argentina atas Inggris pada Piala Dunia 1986 tidak harus dikaitkan perang di Malvinas. Atau mari kita kembali ke perseteruan klasik antara Real Madrid dan Barcelona. Madrid merupakan representasi dari Spanyol, sementara Barcelona mengejawantahkan spirit ‘memberontak’ bangsa Catalan yang ingin merdeka. Masih banyak rentetan cerita ketika kita menguliti Sepakbola dari sudut pandang yang lain. Jadi sepakbola sudah menjelma tidak hanya olahraga tapi lebih daripada itu.Untuk itu, tidak berlebihan jika George Orwell mengungkapkan bahwa sepak bola adalah kelanjutan perang dengan cara lain.
sejarah pernah mencatat tim nasional Indonesia menolak bertanding melawan Israel dalam kualifikasi Piala Dunia 1958 di Swedia. Penolakan ini terjadi ketika peluang Indonesia untuk lolos ke Piala Dunia tinggal selangkah lagi. Ini semua terjadi atas perintah Bung Karno sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina. Dan ini sikap politik dari Bung Karno, Sikap anti imperialisme Soekarno juga mempengaruhi sikap Indonesia, dalam pidatonya pada tahun 1962 dia mengatakan selama kemerdekaan Palestina belum diserahkan maka Indonesia terus menentang Israel. Kita tiba pada menganalisis benang kusut penolakan terhadap Timnas Israel U-20 yang justru berdampak pada pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 oleh FIFA. Untuk mengurai polemik keikutsertaan Timnas Israel dalam Piala Dunia U-20 bukanlah dengan meminta rakyat Indonesia memisahkan sepak bola dan politik. Karena itu merupakan hal yang absurd dan naif. Sepak bola dan politik sebagaimana saya urai di awal tulisan ini adalah keniscayaan.
Berikut yang menjadi penting agar kita ketahui bersama ialah kita bahwa Piala Dunia U-20 bukanlah The Games of the New Emerging Forces (GANEFO).Yang harus digaris bawahi ialah Piala Dunia U-20 bukan hajatan milik Indonesia. Timnas Israel nyatanya telah berhasil lolos dari babak kualifikasi dan berhak untuk tampil di Piala Dunia U-20. Dengan demikian, Indonesia tidak memiliki otoritas untuk menggugurkan keikutsertaan Israel di Piala Dunia U-20. Indonesia hanya mendapat kepercayaan sebagai tuan rumah atas pengajuan Indonesia sendiri, ini yang kemudian harus kita sadari bersama.Apabila dikaji dengan akal sehat penolakan terhadap Timnas Israel U-20 yang diakomodasi pemerintah adalah bentuk ketidakdewasaan Indonesia.
Yang juga harus kita ketahui atlet panjat tebing Yuval Shemla yang berlaga dalam IFSC Seri Jakarta (2022) berasal dari Israel, ada juga atlet sepeda Mikhael Yakovlev yang berlaga dalam Kejuaraan UCI Track Nations Cup (2023).Lantas mengapa baru sekarang? Mengapa di gelanggang sepak bola saja keikutsertaan Israel dipermasalahkan?
Karena Sepakbola dan politik tidak bisa dipisahkan, dalam praktiknya sepakbola memang sangat rawan dipolitisasi dan dikapitalisasi. Sepakbola telah menjadi industri dan termasuk cabang olahraga yang penggemarnya lintas batas dan generasi, dari anak-anak hingga dewasa serta lintas gender. Sepakbola sering menjadi alat politik, kampanye dan pencitraan bagi penguasa atau politikus untuk mendulang elektabilitas dan legitimasi. Kita akan sampai pada kesadaran kolektif, bahwa Sepak bola adalah miniatur kehidupan atau bahkan kehidupan itu sendiri. sepak bola tidak dapat ditelisik hanya dalam satu sisi saja. Di dalam lajunya, si kulit bundar dapat membawa kepentingan politik, ideologi, dan berbagai kepentingan massa. Sepak bola adalah simbol perlawanan dan bagian dari martabat massa juga martabat bangsa.
Piala Dunia, hanya pesta empat tahunan dan dampaknya tidak masif, kita bersedih untuk beberapa pekan namun setelah itu kita juga perlu berbenah. Sementara kalau kebijakan politik yang diambil Pemerintah salah maka dampaknya bisa dirasakan sampai 10 atau 25 tahun atau hingga satu generasi. Selamat berkontemplasi. (FKK03)