Malam itu saya berkesempatan menyusuri sisi barat jalanan di bundaran Tirosa kota Kupang.
Harus diakui sudah banyak yang berubah, nampak lebih cantik di beberapa sudutnya menambah
kebanggaan penghuni kota saat ini. Geliat ekonomi masyarakat terlihat disana, disamping lokasi
lainnya yang tak kalah seru dapat dijumpai di beberapa sudut kota yang juga sedang sibuk
dibanjiri warga kota penikmat jajanan dan kuliner malam yang sedang “hang out” malam itu.
Yah kota ini sudah jauh berbeda, roda ekonomi terus bergerak, wajah kota nampak lebih cantik,
tidak lagi malu-maluin disebut sebagai ibu Kota Propinsi. Lokasi kuliner malam bertebaran
dimana-mana, silahkan pilih menu jajanan sesuai isi dompet masing-masing, harga pas, tancap
gas.
Sesaat terdengar tawa lirih di sekelilingnya bercampur dengan suara bising kendaraan lalu
lalang menemani diskusi kelompok-kelompok kecil pertemanan yang sedang “duduk talepo” ala
orang Kupang di empat sisi jalanan itu. Saya ikutan mencari kuliner yang khas disediakan
penjaja kaki lima menemani “me time” sambil menikmati lampu warna-warni yang kebetulan
malam itu sedang menyala dan menari menghias cantiknya patung Tirosa kebanggan warga kota.
“Kacang gore gari” ala ina Sabu dan kacang rubus ala to’o Rote Dengka nikmat kukunyah,
ditolak secangkir kopi hitam Flores menemani perenungan malam menatap masa depan daerah
ini.
Seusai itu, saya melanjutkan perjalanan ke lokasi lainnya, menyisir pusat kuliner baru di
seputaran jalan Palapa yang kaya dengan tawaran menu jajanan dengan harga merakyat, namun
kuputuskan untuk meneruskan jalan-jalan santai malam itu ke seputaran wilayah pesisir laut
Kota Lama melewati Jajanan Air mata menyusur jembatan selam dan sesaat menepi di pantai
Tedis menikmati udara laut yang tak asing di kulit orang Kupang.
Perjalanan berkesan menikmati pemandangan kota di malam hari dengan berbagai keseruannya
harus berakhir karena waktu sudah cukup larut malam. Dalam perjalanan pulang ke rumah, mata
saya menangkap beberapa “titik” ternyata sudah mulai diramaikan oleh wajah-wajah “para
calon” yang mulai memperkenalkan diri mereka dengan berbagai cara. Ada wajah lama, banyak
pula wajah baru. Keramahan mereka dalam menyampaikan ucapan selamat hari raya agama,
nasihat untuk berhati-hati di jalan, sampai dengan sekedar himbauan ramah untuk jangan lupa
berbahagia dihiasi senyum lebar dari wajah disampingnya, seakan menarik perhatian setiap
orang yang melewatinya.
Yah benar, 2023 tahun politik menuju 2024, dimana Pileg, Pilkada dan
Pilpres akan berlangsung di tahun yang sama dalam perhelatan pesta demokrasi yang sudah di
depan mata kita. Bau-bau kampanye mulai terendus hidung, bisik-bisik ramah mulai terdengar di
telinga kita, bacaan-bacaan kita mulai diramaikan dengan berita-berita politik. Media cetak dan
media sosial menyajikan begitu banyak informasi yang tak habis dinikmati karena ketersediaan
informasi lebih cepat dari kemampuan kita melahapnya. Belum lagi diskusi-diskusi melalui
berbagai forum dan podcast yang semakin mengedukasi kita menjelang 2024 seolah berlombalomba menawarkan diri sendiri ataupun tokoh lain yang dikaguminya. Pokoknya seru habis.
Seni membaca aspek geopolitik dan aspek primodialisme dalam politik nyaris tidak dapat
dihindari, namun saya meyakini bahwa masyarakat kita sudah cukup cerdas. Setidaknya saya
yakin bahwa pemilih rasional saat ini sudah lebih banyak dari pada pemilih emosional
dibandingkan periode pemilu sebelumnya. Politik transaksional mungkin saja masih bisa lolos
dari pengawasan penyelenggara Pemilu, namun masyarakat kita sudah cukup belajar dan
mengerti arah politik pilihannya sendiri.
Sudah saatnya para calon berhenti berpikir bahwa masyarakat kita masih bodoh dan masih bisa
dibujuk rayu. Kalau kami diam karena kami menghargaimu bukan karena kami begitu bodoh.
Simpan saja uangmu. mending belanjakan uangmu untuk membantu geliat ekonomi masyarakat
yang sedang mengais rejeki di pusat-pusat kuliner kota dari pada menghabiskannya untuk
“membeli simpati”, ahh sudahlah, percuma kawan. Masyarakat mengenal siapa yang harus
mereka pilih, wajah dan nama itu sudah ada di hati mereka, bukan sekedar gambar-gambar yang
terpampang menghiasi wajah kota bergelantungan di pohon-pohon dan pagar rumah warga yang
menarik hati kami. Tabungan sosial itu lebih berharga dari pada kebaikan instan sesaat.
Investasi sosial telah direkam dalam jejak-jejak lewat karya-karya nyata yang bermanfaat yang
ditinggalkan oleh orang-orang tulus sudah dikenal dalam hati kami. Kebaikan harusnya disertai
dengan ketulusan dan kebaikan sebagai gaya hidup yang sudah kami kenal sejak lama, bukan
baru muncul mendadak di tahun politik ini. Jangan sampai kebaikan itu mengagetkan orang
dengan pandangan aneh, sapaan ramah itu mengejutkan kami karena terdengar asing ditelinga
dan kehadiran di wilayah sosial terlihat unik karena jarang kau datangi selama ini.
Sebelum tidur malam itu saya pun berujar dalam hati bahwa yang membuat seseorang diplih
bukan karena penawaran “transaksional” melainkan Investasi Sosial yang sudah lama dilakukan
melalui ketulusan dan kesungguhan membangun manusia dan membangun daerah secara nyata
dan telah membuahkan hasil lewat karya nyata yang dapat dinikmati semua orang. Kami sudah
capek mendengar janji, kami bosan mendengar gagasan yang tidak kunjung berhasil dilakoni,
kami pun bosan dengan kalian yang hanya datang menawarkan senyum di wajah tapi jahat di
hati. Ahh sudahlah. Mulailah mengukur dirimu sahabat, karena kami sudah tahu siapa yang harus
kami pilih. Gas ko Rem? Ator saaa. Katong diam tapi katong su mangarti. Sampai jumpa di
2024.(FKK03)