Menuju Pemilu Demokratis Oleh Nofri Dandi Nahak

Sebuah Pengantar

Tulisan ini sebut saja sebagai sebuah ulasan filosofis untuk membaca realitas politik bangsa Indonesia menjelang pemilu 2024. Fokus analisis penulis diarahkan pada factum empiricum masyarakat Indonesia yang majemuk. Katakanlah fenomena keberagaman menjadi titik perhatian dan perhentian penulis dalam rangka membaca dan memahami realitas perpolitikan bangsa Indonesia, terlebih disaat-saat menjelang pemilu 2024. Dan menurut asumsi penulis, pemilu boleh dilihat sebagai salah satu medan perjumpaan antara perbedaan-perbedaan (suku, ras, agama dan antar-golongan) yang ada dalam masyarakat. Karena perjumpaan itu adalah sebuah perjumpaan antara perbedaan-perbedaan tersebut, mungkin kita boleh berpikir sedikit skeptis, dapatkah perjumpaan itu menjadi kesempatan untuk saling menghargai satu sama lain atau sebaliknya perjumpaan itu justru membawa bencana bagi yang lain?

Fakta Politik Indonesia

Di hadapan factum empiricum bangsa Indonesia yang majemuk, politik kadang kala ditunggangi oleh sekelompok orang yang ingin mencapai tujuan-tujuan kepentingan kelompoknya. Kemungkinan ini bisa terjadi karena perbedaan bisa saja melahirkan kecenderungan dari kubu-kubu tertentu yang secara radikal menggunakan identitas-identitas partikularnya untuk mengejar tujuan-tujuan diluar dari cita-cita demokrasi. Menurut identifikasi penulis, letak persoalannya ada pada paradigma berpikir segelintir orang yang “keras kepala” kurang menghargai perbedaan. Perbedaan tidak lebih dari pada virus yang menganggu harmoni kehidupan, maka harus dimusnahkan. Gambaran mengenai hal ini pernah terjadi di negeri kita yaitu tepatnya pada perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017 silam. Basuki Tjahaja Purnama¾akrab disapa Ahok¾dituduh menista agama dengan mengutip surat Al-Maidah 51. Peristiwa ini merupakan sebuah fenomena yang cukup miris karena penggiringan opini massa yang dangkal menyurut sentimen terhadap Ahok sebagai penista agama. Ini merupakan salah satu kasus politik identitas berbasis pada aspek religiositas atau keagamaan.

Fakta tersebut telah menunjukkan bahwa politik bangsa kita tidak terlepas dari praktek politik yang berbasis pada identitas-identitas tertentu atau dalam kosa kata yang umum dipakai adalah politik identitas. Pratek politik demikian bukan bersumber dari sebuah rasionalitas masyarakat tetapi berasal dari sebuah kepicikan kelompok tertentu yang tidak menghargai perbedaan. Sikap picik ini bisa sangat berbahaya karena dapat menjadi penyebab pudar bahkan hilangnya sense of plurality, sehingga publik dibuat lupa bahwa bangsa kita itu beragam, membuat sebagian masyarakat berperilaku intoleran terhadap yang lain. Ditambah lagi dengan kurangnya pola pikir kritis, minimnya etika politik, semakin memperparah keadaan.

Berdiri pada fakta tersebut, kita perlu mengambil sikap waspada karena politik bangsa kita masih cukup jauh dari kata sempurna. Menurut penulis sikap kewaspadaan dapat kita lukiskan¾mengikuti gambaran Godin¾sebagai seorang yang berusaha ditengah malam yang mengancam menjeratnya untuk menjaga agar matanya tetap terbuka. Sikap waspada ini menjadi sangat penting karena mengingat tinggal menghitung bulan saja, bangsa kita akan menyelenggarakan pemilu. Karena itu, kita perlu berjaga-jaga dengan membiarkan mata kita tetap terbuka untuk menyambut pemilu 2024 nanti agar kita boleh melihat dengan tepat dan benar makna pemilu bagi kehidupan bersama kita yang majemuk ini.

Mencari Makna Politik                                     

Pemilu 2024 nanti juga merupakan sebuah aktualisasi politik, maka penulis akan mencoba memberi tilikan filosofis untuk memahami apa arti politik dalam konteks pemilu. Politik zaman klasik dimaknai sebagai pengelolaan polis (arti harafiahnya: kota atau negara kota). Aristoteles mengatakan, polis adalah tempat terbaik bagi manusia, meleluasakan orang mencapai tujuannya, mencapai yang terbaik yaitu kebahagiaan. Manusia mengaktualisasikan dirinya dan berfungsi optimal dalam kebersamaannya dengan manusia lain di dalam polis. Menurut Hannah Arendt, politik berada di luar manusia karena politik berlangsung di antara manusia-manusia. Dalam tesis ini Arendt menekankan kata “antara” (zwischen) dan “di luar” (auβerhalb). Baru dalam distansi satu sama lain manusia di satu pihak mampu mengenal dan mengakui yang lain dalam keberlainannya namun distansi itu di lain pihak memungkinkan kedekatan melalui komunikasi sehingga orang dapat berkata “kita”. Menurutnya manusia dilahirkan sebagai makhluk yang berbeda-beda dan baru melalui politik mereka disamakan dan disetarakan.

Pemikiran Arendt tentang politik yang demikian dapat kita perbincangkan dalam  konteks kemajemukan bangsa kita dan juga dalam konteks pemilu yang merupakan realisasi politik, sebab menurutnya politik adalah kebersamaan dan kesalingan dari yang berbeda-beda. Politik ini mungkin terealisasi karena manusia adalah makhluk yang mampu keluar dari dirinya sendiri dan mengambil perspektif orang lain. Maka bertindak politik berarti menisbikan atau merelatifkan nilai asal-usul, suku, ras, agama dan golongan dan mampu membuka diri terhadap perbedaan sudut-sudut pandang yang ada. Kondisi demikian sangat memungkinkan bagi kita untuk dapat membuka mata kita dalam membangun¾mengacu pada kosa kata Immanuel Kant “Hospitalitas”¾yaitu suatu sikap menyambut yang lain dalam keberlainannya, sikap terbuka terhadap pluralisme nilai-nilai, sehingga kita boleh menyaksikan tumbuh suburnya sikap saling menghargai satu dengan yang lain dalam perbedaan.

Politik itu sejatinya adalah sarana untuk menjunjung tinggi nilai demokrasi, mengokohkan solidaritas, meghargai perbedaan, jangan sampai dipandang oleh segelintir orang yang berkepentingan hanya sebagai kesempatan untuk meruntuhkan yang lain. Kalau demikian yang terjadi maka politik bermuara pada¾meminjam istilah Carl Schmitt “antinomi kawan dan lawan”. Mereka yang terjun dalam politik dengan menyandang identitas kelompoknya, tanpa peduli memandang yang lain hanya sebagai musuh yang harus dihancurkan. Tentunya kita tidak ingin hal demikian terjadi dalam masyarakat kita yang beragam ini.

Sebuah Optimisme Politik

Pada posisi ini mungkin kita boleh kembali pada pertanyaan awal, mungkinkah pemilu 2024 bisa menjadi wahana terciptanya nilai-nilai demokrasi atau sebaliknya justru menjadi tempat terjadinya konflik? Jawaban penulis bersifat ambivalensi yaitu bersifat dua arah. Menurut anggapan penulis, pemilu bisa bertendensi disharmonisasi atau sebaliknya hamonisasi. Hal ini bergantung pada bagaimana caranya kita membangun sikap terhadap dimensi perbedaan yang ada dalam masyarakat. Konflik serta pertikaian dalam momentum pemilu bisa terjadi apabila perbedaan dilihat sebagai acaman dan bahaya. Tetapi juga momentum pemilu bisa menciptakan kondisi harmonis apabila perbedaan lebih dimaknai sebagai kesempatan untuk saling belajar.

Menghadapi kemungkinan-kemungkinan ini, menurut penulis bangsa kita perlu menata dan mengelolah rasionalitas dan etika berpolitik masyarakat. Rasionalitas dan etika politik mengandaikan bahwa kita siap membuka diri terhadap perspektif lain, memiliki kemampuan untuk memahami yang lain dalam keberlainannya, sikap menerima perbedaan dan pluralisme nilai-nilai. Kedua hal tersebut perlu ditegaskan supaya masyarakat kita semakin terpola dalam corak berpikir kritis agar tidak mudah diobang-ambing oleh emosi yang tidak beraturan dan kemudian jatuh pada sentimen terhadap sesama karena dipikat oleh loyalitas-loyalitas primordial semu terkait ras, suku agama dan golongan. Kedua indikator ini dapat kita pakai sebagai⸺dalam bahasa Budi Hardiman⸺”batu uji rasionalitas publik” pada pemilu 2024 nanti sekaligus sebagai upaya mengantisipasi tendensi politik identitas yang akan bekerja dalam pemilu 2024 nanti.

 Kesimpulan

Sebagai kesimpulan untuk menutup tulisan ini maka sekali lagi penulis ingin menegaskan optio fundameltal penulis bahwa sesungguhnya untuk menghindari segala konsekuensi praktek-praktek politik yang non-demokratis dalam pemilu, maka bangsa kita perlu membangun dan menumbuhkan semangat rasionalitas politik dan etika politik yang memadai. Bagi penulis politik kita masih cukup jauh dari kata sempurna. Akan tetapi bukan berarti hal itu tidak mungkin untuk dicapai. Penulis berkeyakinan bahwa dengan semakin membudayakan rationalitas dan etika politik masyarakat, bangsa kita semakin hari akan semakin berlangkah menuju tujuan pemilu yang demokratis tersebut.(FKK03)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hot this week

“Sabar Menderita Karena Kebenaran Kristus” Minggu sengsara III , 25 februari 2024

Shalom. Sahabat sepelayanan selamat menikmati pemeliharaan Tuhan dan selamat...

Ngaku Bisa Loloskan Siswa ke SMAN 1, Guru PNS di Kota Kupang Tipu 9 Ortu

Kupang, FKKNews.com - Oknum Guru di kota Kupang atas...

Kasus Pembunuhan terhadap Mahasiswa Asal Alor Bukan Berawal Dari Syukuran Pesta Wisuda, Berikut Penjelasan dari AKP Jemy Noke

Kupang, FkkNews.com - Kasus pembunuhan yang terjadi di Kelurahan...

Tepati Janji Kampanya, Wali Kota Kupang Christian Widodo Wujudkan Program Liang Kubur Gratis

Kupang, FKKNews.com - Pemerintah Kota Kupang mewujudkan salah satu...

Ketua Umum Partai Nasdem Surati KPU RI Terkait Pengunduran Diri Caleg DPR RI Ratu Wulla Saat Rekapitulasi Nasional

Jakarta, FKKNews.com - Saksi dari Partai Nasdem menyampaikan surat...

Prof. Apris Adu Daftar Sebagai Calon Rektor : Siapkan 6 Program Strategis Untuk Undana Sehat dan Berdampak

Kupang, FKKNews.com - Pemilihan Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana)...

Jelang HUT RI Ke-80, GAMKI Alor Dialog Interaktif Di RRI Bahas Kemerdekaan Perempuan Dan Anak

Kalabahi, FkkNews.com - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Angkatan...

Kejari Alor Tegaskan Pengadaan Barang/Jasa Di Desa Harus Berbasis Swakelola Dan Gotong Royong

Kalabahi, FkkNews.com - Kepala Kejaksaan Negeri Alor Mohammad Nursaitias,...
spot_img

Related Articles

Popular Categories

spot_imgspot_img