Kapitalisme Membabi Buta Opini Oleh Pendeta Karel Koro

Berjalan kaki menuju sekolah di pagi hari, demikian pula saat kembali ke rumah siang hari adalah hal biasa saja bagi anak-anak Sekolah Dasar (SD) seusia saya di era tahun 1980-an. Kalau mau naik “bemo” (angkot) maka seorang anak SD harus mengacungkan tangannya di tepi jalan sambil “melambaikan uang kertas merah Rp. 100 perak” supaya sang supir menepi dan dengan sigap kakak “konjak” (kondektur) bantu menggendong menaikan anak SD itu ke atas bemo. Maklum saja biasanya anak SD tidak membayar ongkos bemo sehingga sering diabaikan dan lebih memrioritaskan penumpang dewasa yang pasti bayar. Memang ada juga angkutan gratis berupa bus TNI-AD yang khusus melayani transportasi gratis masyarakat pada jam sibuk pagi dengan rute tertentu.

Jarak SD saya ± 2 km dilakoni secara bergerombol menuju dan sekembali dari sekolah sambil ngobrol film anak-anak yang sedang “trend”saat itu seperti “Megaloman”dan “The Goggle Five” juga serial Kungfu “The Legend of the Condor Heros”.Obrolan siang sambil “ma’ale gula lempeng” semakin menyemangati langkah kami dengan riang gembira. Berbagai topik obrolan menemani langkah kami termasuk skor main bola “ala kaki kosong”hingga “abu nae” di halaman tanah bebatuan depan sekolah saat istirahat siang sekolah tadi. Perjalanan pulang dari sekolah tidak langsung menuju rumah, karena sesekali kami bergerombol singgah ke sumber mata air besar di kelurahan tempat kami tinggal “Kali OEba” untuk berendam sesaat, atau sesekali mampir ke beberapa lokasi mencari “cabang katapel” dari dahan pohon galanggiting untuk “fiti burung” dengan peluru dari batu atau“tali sice” hasil potongan dari kursi-kursi bertali plastik rusak disekitar rumah.

Pada musim tertentu, panjat pohon kujawas(jambu biji), pohon asam (tambering) dan pohon jamlang (jambu hitam) di sepanjang perjalanan pulang menjadi salah satu opsi yang menyenangkan. Orangtua tidak mengkuatirkan kami karena situasi kala itu semuanya masih normal dan aman-aman saja. Terkadang kami juga membuat
mobil-mobilan dari kayu bekas dengan roda dari potongan sandal “swallow” rusak, atau“mainbahoro” dari tutupan botol minuman yang tajamkan di bagian pinggirnya dan digerakan dengan bantuan benang bola tebal. Meriam bambu dan mainan granat dari busi bekas dimainkan menjelang bulan Desember tanda Natal sudah dekat.

Benar kata pepatah, bahagia itu sederhana. Setelah istirahat siang, sore harinya, kami berlari-lari kecil sambil mendorong “simpi”(sebuah mainan roda-rodaan) menuju seputaran pantai pasir panjang yang tidak jauh dari rumah saya. Kami menyebutnya dengan “makan meting” yaitu sebuah kondisi ketika air laut surut di sorehari. Dengan mudah kami akan mengumpulkan kerang/siput laut ataupun menangkap ikan kecil, belut laut dan juga kepiting yang terperangkap dalam kubangan air. Sebelum membawa pulang untuk dimasak mama sebagai hidangan lezat makan malam, kami sempatkan bermain“galaasin” di atas pasir laut yang putih tanpa alas kaki.

Ada juga permainan lain seperti kayu do’i dan lempar batu boi. Anak-anak perempuan lebih memilih “lompat tali merdeka” atau membuat
patung pasir. Sungguh sebuah situasi yang menyenangkan untuk dikenang kembali. Kami sehat karena tubuh selalu bergerak. Kualiltas bersosialisasi dan pertemanan menjadi sangat akrab karena kami selalu bermain berkelompok. Di hari Minggu, kami masih juga berjumpa di Sekolah Minggu dekat rumah kami. Kenangan manis yang tak terlupakan.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa zaman sudah berubah. Lain dulu lain sekarang. Dulu kami menciptakan permainan, kalau saat ini anak-anak memainkan permaian yang diciptakan industri mainan anak-anak. Bukan hanya alat permainan yang telah dikuasai industri mainan anak-anak, tetapi juga tempat bermain kami dulu perlahan-lahan mulai dipagari oleh industri perhotelan dan berbagai varian hiburan masyarakat berbayar lainnya. Pantai yang dulu kami masuk gratis, perlahan mulai dipagari oleh gedung-gedung besar di sepanjang bibir pantai. Memang masih ada ruang-ruang terbuka lainnya, namun kami kehilangan pasir tempat bermain kami. Kalaupun ada akses ke pantai hanya sedikit ruang yang tersisa, itupun hanya menunggu waktu, ruang tersisa itu akan segera dibangun industri berbayar lainnya. Wajah kota kami semakin terlihat moderen. Sudah jarang terlihat anak-anak sebaya berlari
bergerombol, bermain, menciptakan permaianan sendiri sambil bersosialisasi.

Lingkungan tidak seaman dulu. Kebanyakan orang tua mulai kuatir jika anaknya bermain lama di luar rumah, sebagai gantinya disiapkan permainan di dalam rumah. Mereka lebih asyik dengan dunia maya, game online, media sosial dan berbagai sarana hiburan digital lainnya, generasi saat ini menghadapi tantangan era industri digital yang juga semakin tidak terkendali, menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Mereka tidak lagi jujur saling menyapa, diganti dengan emoticon yang belum tentu sesuai realita. Industri telah merubah wajah sosial hidup bermasyarakat kita.

Anak-anak yang berjalan pergi dan pulang sekolah, mayoritas sudah diganti dengan antar jemput kendaraan pribadi. Modernisasi adalah sebuah resiko dari sebuah konsekuensi pertumbuhan ekonomi masyarakat dan perkembangan kota. Yah sesuatu yang wajar. Namun keakraban dan sosialisasi anak-anak pun tidak sebaik dulu. Tanah-tanah kosong di kelurahan tempat bermain bola kaki sudah hilang perlahan-lahan diganti gedung dan beton. Dulu bermain bola kaki gratis, saat ini perlu mengeluarkan kocek untuk menyewa lapangan futsal. Kami harus merelakan ruang-ruang bermain masa kecil kami direbut oleh industri-indutri
pertokoan (ruko), minimart yang menjamur bak cendawan di musim hujan, hotel yang bertambah, restauran, kedai-kedai minuman dan berbagai varian hiburan lainnya.

Untung masih ada sebuah ruang untuk berjumpa dengan sesama, ketika kita melangkah ke rumah Tuhan di hari Minggu. Ya… disana kita bisa beribadah bersama, memuji dan menyembah Tuhan tanpa memandang status sosial. Tapi ngomomg-ngomong, apakah insustri sudah masuk juga kewilayah religius ini? Bisa jadi ya, bisa juga belum sepenuhnya. Setidaknya saat ini mulai terlihat ada gereja yang ber-AC dengan kualitas sound system super nyaman. Namun masih ada juga yang berbekal “Angin Cendela” atau kipas angin. Cepat atau lambat penawaran kenyamanan beribadah pun akan mulai menjadi opsi dimana masyarakat memilih untuk beribadah tetap.

Dulu menjadi menjadi rohaniwan adalah pilihan pelayanan untuk “memberi hidup”, bisa jadi kedepanakan menjadi salah satu profesi sumber penghidupan untuk “mencari hidup”. Jangan-jangan posisi pucuk pimpinan organisasi gereja pun akan dicapai dengan gaya politis praktis. Mungkinkah perkara rohani pun akan disusupi campur tangan kapitalis? Akankah ibadah yang adalah kebutuhan rohani akan berganti baju menjadi industri peribadahan di masa yang akan datang yang menawarkan kenyamanan pelayanan bintang lima sekaligus hiburan dalam satu paket?. Ahh… Kapitalisme memang sedang membabi buta.(FKK03)

Hot this week

“Sabar Menderita Karena Kebenaran Kristus” Minggu sengsara III , 25 februari 2024

Shalom. Sahabat sepelayanan selamat menikmati pemeliharaan Tuhan dan selamat...

Ngaku Bisa Loloskan Siswa ke SMAN 1, Guru PNS di Kota Kupang Tipu 9 Ortu

Kupang, FKKNews.com - Oknum Guru di kota Kupang atas...

Kasus Pembunuhan terhadap Mahasiswa Asal Alor Bukan Berawal Dari Syukuran Pesta Wisuda, Berikut Penjelasan dari AKP Jemy Noke

Kupang, FkkNews.com - Kasus pembunuhan yang terjadi di Kelurahan...

Tepati Janji Kampanya, Wali Kota Kupang Christian Widodo Wujudkan Program Liang Kubur Gratis

Kupang, FKKNews.com - Pemerintah Kota Kupang mewujudkan salah satu...

Ketua Umum Partai Nasdem Surati KPU RI Terkait Pengunduran Diri Caleg DPR RI Ratu Wulla Saat Rekapitulasi Nasional

Jakarta, FKKNews.com - Saksi dari Partai Nasdem menyampaikan surat...

Prof. Apris Adu Daftar Sebagai Calon Rektor : Siapkan 6 Program Strategis Untuk Undana Sehat dan Berdampak

Kupang, FKKNews.com - Pemilihan Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana)...

Jelang HUT RI Ke-80, GAMKI Alor Dialog Interaktif Di RRI Bahas Kemerdekaan Perempuan Dan Anak

Kalabahi, FkkNews.com - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Angkatan...

Kejari Alor Tegaskan Pengadaan Barang/Jasa Di Desa Harus Berbasis Swakelola Dan Gotong Royong

Kalabahi, FkkNews.com - Kepala Kejaksaan Negeri Alor Mohammad Nursaitias,...
spot_img

Related Articles

Popular Categories

spot_imgspot_img