Literatur kitab suci menyatakan bahwa perempuan diciptakan sebagai penolong (Ezer) laki-laki (Kej. 2:18). Dalam bahasa Inggris kata ini mendapat penyempitan makna. Penolong diartikan mirip dengan kata pembantu. Terjemahan ini memberi peluang laki-laki berkuasa atas perempuan. Kaum feminis, bertolak dari Kitab Suci dan asal katanya, menerjemahkan Ezer sebagai mitra atau partner. Berdasarkan pengertian ini, perempuan diciptakan bukan sebagai pembantu laki-laki. Perempuan diciptakan sebagai mitra dalam seluruh proses kehidupan. Kemitraan yang ada menunjukan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Secara logis, gambaran tentang perempuan yang lemah dan tak berdaya tidak dapat dibenarkan. Orang yang membutuhkan pertolongan seharusnya menjadi pribadi yang lemah. Dalam kisah penciptaan Tuhan melihat bahwa laki-laki tidak baik hidup sendirian karena itu manusia lain yang kemudian disebut sebagai perempuan diciptakan. Berdasarkan kenyataan ini, tidak salah dan berlebihan jika laki-laki dilihat sebagai makhluk yang lemah. Berbeda dengan cara berpikir manusia, Allah menciptakan perempuan sebagai partner dengan tujuan untuk saling melengkapi. Dalam diri manusia selalu ada dua sifat yang selalu berdampingan yakni sifat-sifat maskulin dan feminim. Keduanya menjadikan manusia sebagai pribadi yang utuh.
Trible dalam hermeneutikanya, menyatakan bahwa penciptaan perempuan merupakan penciptaan kedua yang paling puncak dan perlu untuk menyempurnakan penciptaan makhluk manusia. Baginya manusia laki-laki dan perempuan diciptakan dalam waktu yang sama. Karena itu tidak ada pembedaan antar laki-laki dan perempuan dari segi waktu maupun derajat. Keduanya diciptakan dalam kesederajatan. Sabda dalam Kejadian 2:23, “Tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” menjadi kunci utama yang menunjukan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa ungkapan ini menegaskan satu relasi timbal balik antara keduanya, kesatuan, kesetiakawanan serta kesetaraan. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Laki-laki dan perempuan masuk dalam satu keterikatan yang saling bergantung. Laki-laki membutuhkan perempuan dan sebaliknya, perempuan membutuhkan laki-laki untuk mencapai kesempurnaan yang dikehendaki Tuhan.
Subjektivitas perempuan sebagai penolong seharusnya menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan laki-laki. Tindakan diskriminasi terhadap perempuan seharusnya dilihat sebagai kriminalitas terhadap diri manusia sendiri dalam hal ini pribadi laki-laki. Sebagai satu kesatuan, “Tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”, pelbagai tindakan diskrimnasi, kekerasan dan ketidakadilan secara langsung memperlawankan laki-laki dengan dirinya sendiri. Karena perempuan adalah aku yang lain dalam kemanusiaan bersama. Perbedaan konsep dapat mendatangkan berbagai macam tafsiran. Persoalan konsep yang berdampak pada perlakuan perempuan merupakan dasar atau sumber keberduaan makna dari doktrin dan ajaran-ajaran yang berlaku mendediksasi adanya kelemahan dalam diri seseorang yang perlu ditolong namun lagi-laginya fokusnya bukan kedaan yang paling unggul di antara keduanya, akan tetapi dalam hal ini keduanya diciptakan untuk saling melengkapi . dalam alkitab sacara bahasa Indonesia yang menterjemahkan secara netral dalam artian tidak mengunggulkan yang lain dan menomorduakan yang satu. yaitu di terjemahkan sebagai penolong yang sepadan . Namun interpretasi ini bisa diruntuhkan oleh kisah selanjutnya, bahwa Allah menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki, Ketika laki-laki itu sedang tidur. Itu artinya perempuan diciptakan setelah laki-laki. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa dari tulang rusuk? Mengapa tidak dari tulang kepala, atau tulang kaki? Jawabannya, karena perempuan diciptakan sebagai penolong yangg sepadan, dia selalu berada di samping dan berjuang bersama laki-laki. Dia tidak berada di atas kepala laki-laki, ataupun dibawah kaki laki-laki. Itu poin lainnya.
Selanjutnya, untuk berbicara tentang feminisme, perlu diperhatikan juga fenomena budaya. Untuk konteks Eropa, mungkin kita tidak menemukan persoalan kalau kita menjadikan teks kejadian yang dirujuk dalam tulisan sebagai basis dalam argumentasi selanjutnya. Perlu diperhatikan realitas lain bahwa, banyak budaya di Indonesia, misalkan di NTT, seperti Manggarai, Nagekeo, Riung, Ende dsb., pemahaman mereka tentang dominasi laki-laki khususnya dalam urusan adat, sudah ada sebelum datangnya agama wahyu dengan Alkitabnya. Artinya pemahaman dan praktik patriarkal dalam budaya-budaya tersebut bukan karena hasil interpretasi mereka atas kisah penciptaan manusia yang terdapat di dalam kitab Kejadian.
dengan demikian tidak cukup dan tidak relevan konteks kita kalau menjadikan teks kejadian sebagai basis dalam diskursus tentang feminisme.