Oleh: Florit P. Tae
Kepemimpinan merupakan diskursus yang selalu aktul selaras dengan konteks dan situasi yang dialami. Komponen terpenting dalam suatu organisasi adalah aspek kepemimpinan. Oleh karena iu, Kepemimpinan kemudian menjadi percakapan yang penting dan serius.
Dalam diskursus kepemimpinan, orang kerap mengarah pada krakter, sikap dan tindakan seseorang. Kajian tentang kepemimpinan sudah banyak dilakukan mulai dari kajian non-ilmiah sampai dengan kajian yang ilmiah. Pada kajian non-ilmiah, kepemimpinan itu dilahirkan berdasarkan pengalaman intuisi dan kecakapan praktis semata. Kepemimpinan dipandang sebagai pembawaan seseorang dan merupakan suatu anugerah Tuhan. Karena itu, dicarilah orang yang mempunyai sifat-sifat istimewa yang dipandang memenuhi syarat seorang Pemimpin.
Dari sudut pandang ilmiah, kepemimpinan dipandang sebagai suatu fungsi, bukan sebagai kedudukan atau pembawaan pribadi seseorang. Maka, diadakan suatu analisis tentang unsur-unsur dan fungsi yang dapat menjelaskan, syarat-syarat apa yang dibutuhkan agar pemimpin dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam situasi yang berbeda-beda. Cara kerja dan sikap seorang pemimpin menjadi kajian yang menarik untuk dipelajari.
Konsepsi baru tentang kepemimpinan membawa konsekuensi baru yang harus diperankan oleh seorang pemimpin. Semula, pemimpin dikenal sebagai orang yang membuat rencana, berpikir dan mengambil tanggung jawab untuk kelompok serta memberikan arah kepada orang-orang lain. Sekarang, selain tugas yang disebutkan diatas, seorang pemimpin itu sekaligus pelatih dan koordinator bagi kelompoknya. Fungsi utama pemimpin adalah membantu kelompok yang dipimpin untuk bersedia belajar memutuskan dan bekerja sama secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, krakter, sikap dan jiwa seorang pemimpin harus diperbaharui dan direfleksikan terus menerus.
Dahulu, seorang pemimpin menjadi tuan (Bos, Atasan dll) atas orang-orang yang dipimpin. Seiring berjalannya Waktu, konsep pemimpin sebagai Tuan berubah menjadi hamba atau Pelayan. Konsep kedua ini, kemudian dipakai terus menerus sampai saat ini. Baik dalam lingkungan keagamaan, pemerintahan, perusahaan dan sebagainya. Konsep Pelayan atau Hamba nyaring dikumandangkan dimana-mana.
Bahaya “perselingkuhan” model Tuan dan hamba
Model kepemimpinan tuan (Kyriarki), dalam bahasa Yunani berasal dari kata Kyrios. Model kepemimpinan ini mengandaikan sebuah piramida meruncing ke atas. Seseorang menempati posisi di paling atas dan yang lain dibawah. Sang pemimpin menjadi Bos atau atasan dan segala jenis perhatian diarahkan kepadanya. Ia yang mememang tongkat Komando dan mengatur segala hal sesuai dengan keinginannya. Ia menjadi satu-satunya figur yang menempati posisi puncak dan yang lain menjadi pelayannya.
Seiring berjalannya waktu, model kepemimpinan Kyriarki ini dikritisi dan dianggap tidak tepat. Sebab, tidak ada relasi timbal balik yang setara. Ia menjadi satu-satunya yang diagungkan. Model kepemimpinan yang demikian menjadi persoalan dan dijungkir balikan dengan sebuah model yang baru yakni model kepemimpinan Doularki (model Hamba).
Model kepemimpinan hamba dalam bahasa Yunani disebut dengan istilah Doularki dari akar kata Doulos (Hamba). Model kepemimpinan ini, diperkenalkan oleh seorang pemikir bernama Robert Greeleaft. Bagi Greeleaft “Pemimpin yang baik adalah harus lebih dahulu menjadi pelayan atau hamba yang baik”. Konsep kepemimpinan-hamba kemudian diwariskan terus menerus sampai saat ini. Jadi, seorang pemimpin baik dalam dunia birokrasi pemerintahan, perusahanan maupun lembaga agama selalu melabeli diri sebagai pemimpin-hamba. Model kepemimpinan hamba sesungguhnya sebagai kritik terhadap model kepemimpina Tuan (Kyriarki). Model kepemimpinan hamba mengandaikan sebuah piramida terbalik. Piramida yang sebelumnya meruncing keatas, kini dijungkir balikan meruncing kebawah.
Memang, konsep kepemimpinan-Hamba merupakan sebuah model yang baik. Sayangnya, model pemimpin-pelayan/hamba menjadi candu bagi para pemimpin hari-hari ini. Menarik bahwa model kepemimpinan ini menuntut seorang pemimpin merasa diri sebagai pelayan bagi orang-orang yang dipimpin. Ia menjadi hamba bagi orang lain. kendati demikian, masalahnya ialah, model ini (Pemimpin-pelayan/hamba) memberi ruang subordinasi dalam relasi. Artinya, akan selalu ada labelisasi status atasan dan status bawahan.
Narasi tentang pemimpin-hamba/pelayan disuarakan dengan percaya diri oleh banyak pemimpin publik. Namun, jika ditelisik lebih dalam, model pemimpin-hamba dan model pemimpin-tuan Saling berkelindan, menyatu (saya menyebutnya dengan istilah “berselingkuh”). “Perselingkuhan” antara dua model ini terjadi dalam diri pemimpin-pemimpin hari ini. pada satu sisi, banyak pemimpin mengaku diri sebagai hamba/pelayan. Namun, pada sisi yang lain, dalam praktek sehari-hari para pemimpin itu bertindak seperti tuan sekaligus. Kepemimpinan model Tuan ditolok, namun kerap bersembunyi dibalik label hamba. Sebagai contoh, seorang DPR (Dewan Perwakilan Rakya) mengaku diri sebagai wakil rakyat, dipilih oleh rakyat, menjadi hamba atas rakyat, namun kerap berlaku seperti Tuan. Dan masih banyak contoh lainnya.
Berdasarkan kecenderungan tersebut, maka diperlukan konsep alternatif kepemipinan lainnya guna memperluas cakrawala kepemimpinan para pemimpin di Indonesia baik dalam pemerintahan, organisasi, perusahaan maupun dalam lembaga agama.
Model Kepemipinan Filiarki sebagai alternatif
Kata Filiarki berasal dari bahasa Yunani yang berarti kepemimpinan sahabat, dari akar kata Filia; artinya sahabat. Filiarki dalam bahasa inggris disebut dengan istilah Friend Leadership (Kepemimpinan Sahabat). Model kepemimpinan ini merupakan alternatif yang lebih tepat dan layak diadopsi oleh para pemimpin, baik di birokrasi pemerintahan, perusahaan, lembaga agama dan sebagainya.
Model kepemimpinan sahabat, menolak kepemimpinan dengan model piramida meruncing ke atas atau kebawah. Model kepemimpinan ini justru berbentuk lingkaran. Artinya, pemimpin dan orang-orang yang dipimpin bergerak bersama layakanya putaran sebuah lingkran. Tidak ada subordinasi atasan dan bawahan. Model kepemimpinan ini yang kerap ditonjolkan oleh Yesus ketika Ia berkata “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi aku menyebut kamu sahabata………….”.
Tentu, kita tidak menolak model pemimpin-hamba/pelayan. Tetapi, yang ditolak adalah subordinasi yang terjadi di dalamnya. Sedangkan, konsep sahabat memberi makna yang lebih mendalam. Kepemimpinan sahabat berbasis pada relasi kasih persahabatan. Seorang pemimpin memiliki tanggung jawab untuk memimpin orang-orang disampingnya. Ia tetap memberi diri untuk orang lain, sebagaimana Yesus berkata “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya….”.
Selanjutnya, kepemimpinan sahabat mengandaikan relasi timbal balik, dan berada pada sebuah kesetaraan dan dorongan-dorongan yang menghasilkan manfaat dalam tujuan bersama yang efektif. Oleh karena itu, dalam menghidupi model alternatif kepemimpinan Filiarki/Friend Leadership (Kepemimpinan sahabat), maka saya mengususlkan 3 krakter seorang pemimpin sahabat:
Peratama, Seorang pemimpin bersahabat adalah seorang yang mampu melewati batas-batas. Batas-batas yang dimaksud adalah batasan usia, status sosial dan sebagainya dan menerima yang lain yang asing baginya.
Kedua, mencari potensi dari anggota dan memberikan harapan untuk menjadi pribadi yang berubah. Pemimpin berperan sebagai agent of change bukan bagi dunia tapi bagi anggotanya dengan melihat potensi dari diri anggotanya demi transformasi dirinya kedepan menjadi pemimpin untuk melanjutkan tongkat pelayanan.
Ketiga, seorang pemimpin sahabat adalah pemimpin yang tampil sebagai pendamai. Dengan pengaruh kasih persahabatan, seorang pemimpin tidak lagi menjadi seorang yang membawa gaduh dalam pertemuan, apabila berbeda pendapat, tetapi membawa gaung perdamaian dengan mengafirmasi insight pendapat lainnya.
Penulis merupakan Kabid PKK GMKI Cabang Kupang.