Oleh: Florit P. Tae
Saat ini, seluruh masyarakat Indonesia sangat akrab mengucapkan lima (5) kalimat salam dalam ruang publik (Shalom, Salve, Om Swasti astu namo budaya, Salam Kebajikan, Assalamualaikum wr.wb). Selanjutnya, pemerintah secara masif menghimbau agar masyarakat mengucapkannya sebagai bentuk toleransi antar agama. Kalimat-kalimat salam pancasila digagas dan diterapkan secara serius pada masa pemerintahan Joko Widodo. Pada prinsipnya, lima kalimat salam tersebut “dianggap” sebagai cara untuk toleran dengan agama-agama di Indonesia, sekaligus sebagai penghargaan terhadap ke-binekaan masyarakat Indonesia. Karena itu, lima kalimat salam ini kemudian dikenal dengan istilah “Salam Pancasila/salam Kebinekaan”.
Kendati demikian, jika dipahami lebih mendalam, maka tidak berlebihan bila dapat dikatakan bahwa “salam pancasila” ini sangat tidak nasionalis bahkan tidak pancasilais. Sebab, dengan mengucapkannya, kita sedang membangun tirai bagi agama-agama di Indonesia. Tidak hanya itu, lima kalimat salam ini mungkin terkesan menghargai lima agama besar di Indonesia (Protestan, Katolik, Islam, Hindu dan Budha). Namun, tidak demikian terhadap agama-agama “yang lain”. konsekuensinya adalah tidak “menghargai/menghormati” segenap agama-agama di Indonesia, sekaligus tidak menjunjung tinggi bahasa persatuan yakni “Bahasa Indonesia”.
Menakar relevansi konsep “salam Pancasila”
Mengucapkan “salam pancasila” mengandaikan bahwa kita (bangsa Indonesia) sangat toleran. Hal ini tidak jarang diucapkan oleh para pemimpin di Indonesia. Di NTT Misalnya, gubernur menegaskan bahwa mengucapkan lima salam dengan mengangkat lima jari tangan adalah bentuk ekspresi toleran. Oleh karena itu, Gubernur sebagai kepala daerah menganjurkan bahkan menuntut agar semua masyarakat wajib mengucapkannya dalam berbagai forum. Selain itu, dalam forum-forum kenegaraan dan di depan ruang publik ketika menyampaikan pidato, sambutan bahkan memulai pembicaraan, semua pemimpin wajib mengucapkan “salam pancasila” sebagai salam pembuka. Salam ini menjadi trend di seluruh Indoneisa.
Memang, secara sederhana motivasi terpenting dari mengucapkan “salam pancasila” adalah tentang toleransi. Toleransi menjadi prinsip yang harus dipegang kokoh oleh masyarakat indonesia yang hidup ditegah kepelbagaian. Namun, pertanyaannya, apakah dengan mengucapkan lima kalimat salam diatas kita sudah memperlihatkan toleransi? Ataukah “hanya” mengucapkan lima kalimat salam, sesungguhnya membangun tirai agama-agama sekaligus membuat dikotomi antara agama-agama “besar” dan agama-agama “yang lain”? Bukankah dengan mengucapkannya kita juga tidak menjunjung bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini penting, sebab dengan demikian kita menakar relevansi “salam pancasila” yang sedang kita agungkan dan propagandakan pada ruang publik sebagai salam kebinekaan.
Ruang publik adalah arena yang plural. Di ruang publik ada perjumpaan dari berbagai latar belakang agama, kepercayan dan tradisi. Interaksi diantara kepelbagaian tersebut menuntut kita agar mengupayakan sesuatu yang menjadi penyatuan bagi semua kepelbagaian. Kepelbagain itu mesti ditelisik lebih mendalam agar kita tidak terburu-buru menggunakan salah satu istilah yang seolah-olah merepresentasi kepelbagaian yang amat banyak. Apa lagi dalam konteks Indoensia.
Di Indonesia, sejak lama negara mengakui lima jenis agama di dunia. Agama-agama itu kemudian dikenal sebagai “agama besar” yang wajib dianut oleh seluruh masyarakat. Hal ini dapat kita lihat misalnya, pada kolom KTP dan sebagainya. Namun belakangan, negara menyadari bahwa kolom identitas yang berhubungan dengan agama harus diperbaharui (lih, pada kolom agama ada pilihan “lain-lain”). Dengan demikian, sesungguhnya ada pengakuan bahwa agama-agama di dunia, bahkan di Indonesia tidak hanya 5 agama, melainkan lebih. Masyarakat di Indonesia tidak hanya menganut lima agama, melainkan beragam agama dan tradisi. Sebagai informasi, pada tahun 2019 penelitian terbaru menginformasikan bahwa di Dunia ini, terdapat sekurang-kurangnya 43.000 agama (termasuk agama-agama suku dan sebagainya). Oleh karena itu, tentu di Indonesia lebih dari 5 agama.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka lima kalimat salam yang sering diucapkan sebagai salam pancasila/salam kebhinekaan sangat tidak relevan. Lima kalimat salam diatas secara tidak sadar menampilkan dikotomi antar “agama-agama besar” dan “agama-agama kecil”. Ada perlakukan yang tidak berimbang bahkan tidak adil terhadap kepelbagaian agama dan tradisi di Indonesia. Memang, lima kalimat salam yang kerap diucapkan, dihubungkan dengan sila-sila pancasila. Pancasila berarti lima sila, maka mengucapkan lima kalimat salam sebagai pemaknaan terhadap lima sila. Namun, hal ini berlebihan, sebab sila-sila dalam pancasila tidak menampilkan dikotomi bahkan membangun tirai dalam perbedaan. Akibatnya, “salam pancasila” yang kerap kita kumandangkan adalah tidak pancasilais.
Sebagai contoh, ketika Presiden, gubernur, kepala-kepala daerah atau tokoh-tokoh masyarakat menyampaiakan sesuatu pada forum-forum tertentu yang ditujukan kepada seluruh masyarakat yang beragam latar belakang. Salam pembuka yang selalu diucapkan adalah Shalom, Salve, Om Swasti astu namo budaya, Salam Kebajikan, Assalamualaikum wr.wb. Sesungguhnya kalimat-kalimat salam tersebut hanya ditujukan kepada penganut lima agama, sedangkan yang lain terabaikan. Selain itu, kalimat salam diatas tidak diucapkan dalam kosa kata bahasa pemersatu yakni bahasa Indonesia. Seharusnya, bahasa yang digunakan dalam salam kebhinekaan adalah kosa kata yang Indonesia (Meng-Indonesia) sebagai kesadaran nasionalisme dan pancasilais. Oleh karena itu, penting untuk memikirkan kembali relevansi salam pancasila sebagai salam kebinekaan dan
Mengucapkan “Salam Sejahtera”, Meretas salam ke-bineka-an yang relevan
Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indoensia. Secara historis, hal ini telah ditegaskan oleh para pemuda Indonesia, sejak tanggal 28 Oktober 1928 ketika mereka bersumpah:
Kami Putra dan Putri Indoneisa mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indoneisa mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dengan demikian, bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Sedangkan, lima kalimat salam diatas merupakan bahasa asing dan diucapkan dalam bahasa asing. Kosa kata yang tidak lahir dari rahim Indonesia (Dengan berkata demikian, saya tidak bermaksud menjadi seorang yang “Xenofobia”).
Dengan menahan diri untuk mengucapkan lima kalimat salam diatas pada ruang publik, maka kalimat salam seperti apa yang relevan sebagai salam “ Bhineka Tunggal Ika”, sekaligus mengakomodir segenap perbedaan agama, suku, tradisi di Indonesia?. Sebagai solusi alternatif, kalimat “salam sejahtera” sebaliknya lebih relevan sekaligus meng-Indonesia (tidak perlu embel-embel salam yang lain). Memang, kalimat-kalimat salam yang kerap kita ucapkan (lih. Lima salam) memiliki arti dalam bahasa Indonesia yang berarti “salam damai Sejahtera”. Namun, ia lebih bernuansa agamis. Sedangkan Indonesia tidak demikian.
Solusi alternatif diatas (lih. Salam Sejahtera), tidak bertujuan menghilangkan salam-salam yang beraroma identitas agama pada ruang-ruang privat agama-agama. Setiap agama dan tradisi silahkan mengucapkan salam-salam yang berhubungan dengan identitas agamanya. Namun, ia hanya berlaku bagi komunitas agamanya dan tradisinya secara privat. Sedangkan pada ruang publik, salam persatuan/salam kebinekaan yang harus diucapkan adalah salam dalam bahasa Indonesia (bahasa pemersatu) yang tidak menimbulkan dikotomi atau menampilkan perbedaan, sebab kita adalah satu, sebagaimana ditegaskan dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
Kesimpulan
Indonesia adalah negara yang terbuka dan toleran terhadap perbedaan, baik agama, suku, tradisi dan sebgainya. Perbedaan adalah kekayaan yang berharga. Ia membentuk wajah Indonesia yang berwarna. Indonesia menampilkan keindahan yang jarang di jumpai pada negara manapun di dunia. Indonesia dipersatuakan dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanah Indonesia sebagai rumah bersama, pada satu sisi dari rahimnya ia melahirkan orang-orang yang sangat religius. Ia menghidupi berbagai agama. Namun, pad sisi lain, Indonesia bukanlah negara agama. Penting untuk disadari bahwa pada ruang publik, mestinya kita menahan diri untuk mengucapkan kalimat-kalimat yang terlalu bernuansa agamis. Jika perlu, kita tidak bisa hanya mengucapkan sebagian, dan lalu yang lain terabaikan. Kendati kita wajib mengucapkan kalimat-kalimat salam yang menggambarkan identitas agama-agama, maka secara tidak sadar kita sedang membangun dikotomi agama-agama. Oleh karena itu, kita perlu menggagaskan kembali suatu kalimat salam yang lebih pancasilais dan nasionalis.
“Salam Sejahtera” adalah salam ke-bineka-an. Cukup bagi kita mengucapkan “Salam Sejahtera” tanpa iming-iming salam yang lain. Kalimat ini lahir dari rahim Indonesia, dengan kosa kata Indonesia dan sangat meng-Indonesia.
Email penulis: florittamoy@gmail.com