Kalabahi, FkkNews.com Isu pergantian ajudan Wakil Bupati Alor yakni Pitan Sir mendadak menjadi perbincangan publik setelah muncul permintaan dari Ketua DPRD Alor, Paulus Brikmar. Dalihnya sederhana: ajudan tersebut dianggap memiliki “glagat dan itikad yang kurang baik dalam tata kelola pemerintahan Alor.” Dalih ini lantas dijadikan alasan politis untuk menekan agar Wakil Bupati Rocky Winaryo, S.H.,M.H, segera mengganti ajudannya.
Yang lebih mengejutkan, Ketua DPRD Alor bahkan menyebut bahwa Wakil Bupati memiliki hak prerogatif untuk mengganti ajudannya. Pernyataan ini bukan saja menyesatkan, tapi juga menunjukkan betapa dangkalnya pemahaman sebagian elite kita terhadap aturan dasar tata kelola pemerintahan daerah.
Siapa yang Berhak?
Secara hukum, ajudan bukan jabatan struktural dalam ASN. Ia hanyalah penugasan khusus, bisa berasal dari Kepolisian, TNI, atau ASN di lingkup Sekretariat Daerah. Ajudan melekat sebagai pendamping bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah, tetapi penugasan dan perubahannya tetap berada di tangan pejabat yang berwenang.
Di tingkat kabupaten, pejabat yang berwenang itu adalah Bupati sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Hal ini diatur jelas dalam:
UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, Pasal 1 angka 2, yang menegaskan bahwa PPK adalah pejabat yang memiliki kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dan PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, Pasal 3, yang menegaskan bahwa kepala daerah (Bupati/Wali Kota) adalah PPK untuk lingkup kabupaten/kota.
Artinya, Wakil Bupati tidak punya hak prerogatif untuk mengganti ajudannya secara sepihak. Ia bukan PPK. Jika merasa tidak cocok, Wakil Bupati hanya bisa mengusulkan kepada Bupati atau kepada instansi asal ajudan tersebut. Keputusan tetap ada di tangan Bupati sebagai PPK.
Kekeliruan DPRD
Di sinilah letak kekeliruan fatal Ketua DPRD Alor. Menyebut Wakil Bupati punya hak prerogatif untuk mengganti ajudannya jelas menabrak aturan perundang-undangan. DPRD sebagai lembaga politik seharusnya paham betul batas-batas kewenangan. Mereka punya fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tetapi fungsi pengawasan bukan berarti bisa masuk terlalu jauh ke dalam ranah kepegawaian teknis, apalagi urusan ajudan pribadi.
Mengangkat isu ajudan ke forum internal Banggar DPRD justru memperlihatkan bagaimana lembaga wakil rakyat ini menyusutkan martabatnya sendiri. DPRD yang seharusnya menjadi arena debat tentang anggaran publik, malah terjebak dalam wacana kecil bernama “siapa ajudan Wakil Bupati”. Ini bukan saja keliru secara hukum, tetapi juga memalukan secara politik.
Bahaya Politisasi Birokrasi
Menurut pandangan pribadi saya, manuver DPRD Alor ini mencerminkan betapa birokrasi kita rentan dipolitisasi. Hari ini ajudan yang disorot, besok bisa jadi kepala dinas, lusa mungkin sekda—semua bisa “dijustifikasi” dengan alasan “glagat dan itikad yang kurang baik”.
Jika logika ini dipelihara, ASN akan kehilangan netralitas. Mereka tidak lagi bekerja berdasarkan profesionalisme dan aturan, melainkan berdasarkan selera politik penguasa atau tekanan parlemen. Inilah yang saya sebut sebagai pengkhianatan terhadap prinsip meritokrasi ASN.
Perlu diingat, Pasal 2 UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN secara tegas menyebutkan bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN harus berdasarkan “prinsip netralitas”. Netralitas ASN berarti ASN tidak boleh dipengaruhi kepentingan politik praktis. Bila DPRD dan Wakil Bupati bisa semena-mena mengatur siapa yang menjadi ajudan, itu sama saja dengan membiarkan birokrasi diseret masuk ke arena politik praktis.
DPRD Kehilangan Orientasi
Saya melihat, tindakan DPRD Alor ini memperlihatkan hilangnya orientasi terhadap tugas utama mereka. DPRD mestinya menjadi benteng rakyat, bicara tentang infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pengelolaan anggaran, dan pembangunan daerah. Tetapi faktanya, energi lembaga ini justru dihabiskan untuk mengurus ajudan Wakil Bupati.
Inilah potret banalitas politik lokal kita: urusan yang tidak relevan dengan kepentingan rakyat justru diangkat seolah-olah masalah besar. Sementara itu, isu-isu krusial seperti rendahnya serapan anggaran, buruknya tata kelola pendidikan, atau akses kesehatan yang timpang malah tenggelam.
Apakah ini DPRD yang kita harapkan? DPRD yang sibuk mengurusi ajudan, tetapi lupa mengurusi rakyat?
Mengembalikan Marwah Pemerintahan
Sebagai warga Alor, saya menilai perlu ada kesadaran kolektif dari para elite politik. Wakil Bupati harus sadar diri bahwa ia tidak punya hak prerogatif dalam urusan mutasi ASN, termasuk ajudan. DPRD juga harus kembali ke rel hukum dan fokus pada fungsi yang benar-benar bermanfaat bagi rakyat.
Ajudan hanyalah urusan teknis. Jangan ditarik ke dalam arena politik praktis. Jangan pula dijadikan komoditas politik untuk mempermainkan wibawa seseorang.
Jika elite Alor masih bermain-main di wilayah kecil semacam ini, jangan salahkan rakyat bila kepercayaan mereka semakin hilang. Sebab yang publik lihat bukan kepemimpinan yang bijak, tetapi elite yang sibuk bertengkar soal hal remeh temeh.
Penutup
Pernyataan Ketua DPRD yang menyebut Wakil Bupati punya hak prerogatif untuk mengganti ajudannya adalah keliru secara hukum dan berbahaya secara politik. Hak prerogatif itu hanya dimiliki oleh Bupati sebagai PPK, sebagaimana diatur dalam UU ASN dan PP Manajemen PNS.
Menurut pandangan pribadi saya, apa yang terjadi ini bukan sekadar soal ajudan, melainkan cermin bagaimana birokrasi kita bisa dipermainkan oleh kepentingan politik sesaat. Bila pola ini terus dibiarkan, maka netralitas ASN akan hancur, dan kepercayaan publik terhadap DPRD maupun pemerintah daerah akan semakin runtuh.
Rakyat Alor berhak mendapatkan pemimpin dan wakil rakyat yang bekerja untuk kepentingan mereka, bukan elite yang sibuk mengatur ajudan. Ajudan bukan barang dagangan politik. Demikian Ulasan Opini yang ditulis oleh Salah satu Pemuda Alor, Sanji Hasan. (FKK/Eka Blegur).