Mengembara Mencari Nilai Sila Ke-2 Dalam Ruang Publik Virtual, Oleh Forid Fridz Tae, ketua Cabang GMKI Kupang, (Sebuah refleksi terhadap Nilai “Kemanusian yang adil dan Beradab” dalam komunikasi sehari-hari).
Sila “Kemanusiaan yang adil dan Beradab” merupakan salah satu falsafah yang mengandung nilai etis-Moral dalam relasi berbangsa dan bernegara.
Ia merupakan falsafah yang dinamis, selalu hidup untuk dihidupi oleh segenap manusia Indonesia.
Kendati demikian, masihkah Anda menjumpai nilai “Kemanusian yang adil dan Beradab” dihidupi oleh manusia indonesia yang katanya “Adil dan Beradab”?
Apakah, komunikasi antar sesama masih direngkuh dalam wawasan “Kemanusiaan yang adil dan Beradab”?
Jika, mengamati bentuk interaksi manusia-manusia Indonesia dalam Ruang Publik Virtual, masihkah Anda menjumpai wajah-wajah Kemanusia yang berlaku adil dan bersikap Adab?.
Manusia telah tiba di alam virtualitas, ketika teknologi digital mengambil alih kebiasaan interaksi dengan bertatap muka menjadi interaksi di dunia maya, segalanya menjadi refleksi.
Banyak orang ketika berinteraksi bertatap muka, ia tak punya kata apalagi suara untuk bicara seganas ketika ia bicara di Ruang Publik Virtual.
Atau banyak orang menyebarkan informasi Hoaks, menyerang orang lain tanpa ampun dan wajah tidak selugu ketika berjumpa dengan subjek yang diserang.
Perilaku seseorang dalam ruang Publik Virtual kerap kali tidak menampilkan diri sebagai manusia yang manusiawi apalagi adil dan Beradab.
Ruang Publik Virtual, Sebuah Ruang Interaksi Luput Nilai
Ruang publik merupakan ruang terbuka bagi masyarakat untuk berkumpul dan berdiskusi kritis mengenai kehidupan bermasyarakat. Media sosial memungkinkan setiap individu dapat berpartisipasi dalam berbagai bentuk wacana di jagad maya. Dengan media sosial setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk menyebarkan informasi sesuai agendanya sendiri, memberikan komentar, bnahkan beradu argumentasi dengan individu lainnya. Setiap individu memiliki kesempatan menyuarakan berbagai peristiwa sesuai dengan perspektif masing-masing.
Dengan demikian, Makna ruang publik dikonsepkan sebagai sebuah sistem interaksi yang merefleksikan maknanya yang spontan. Sebagai sebuah kemungkinan yang terbuka bagi siapa pun untuk terlibat didalamnya. Demikian kata para filosof seperti Jurgen Habermas dkk.
Dalam Negara Indonesia, Ruang publik merupakan bagian terpenting negara demokrasi. Demokrasi dapat berjalan dengan baik, jika didalamnya terdapat ruang publik yang setara (egaliter), dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan menyampaikan idenya.
Ruang yang terbuka ini memberi Kesempatan yang luas bagi siapapun degan agenda apapun.
Dalam perkembangan demokrasi modern, kesetaraan mencakup seluruh individu warga negara dan tidak terfokus pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Berbagai macam ide maupun gagasan mendapat porsi yang sama di masyarakat.
Semua orang bergembira dengan ruang publik yang demokratis-egaliter.
Jelaslah disini wilayah Virtual (media sosial) sebagai ruang terbuka publik. Ruang komunikasi tanpa Gheto (Sekat). Tidak dapat dibedakan antara wadah diskusi akademis dan Non Akademis dan sebagainya. Setiap orang yang terlibat didalamnya sepenuh-penuhnya bebas. Bahkan tidak dikontrol oleh nilai dan etika komunikasi yang baku, terstruktur, selain dikontrol nilai dan etika yang terekam dalam batin masing-masing Individu.
Benar bahwa ada aturan-aturan hukum yang mengatur dalam rangka bermedia sosial. Misalnya, Belakangan, ruang publik Virtual diatur dengan Undang-undang ITE dan sebagainya. Namun, undang-undang itu, seperti dimanfaatkan bila ada cuitan, chat dan berita yang menyerang secara hukum. Selebihnya, komunikasi-komunikasi individu dikontrol oleh etika dan moralitas publik.
Dalam penggunaan dan pemanfaatan media sosial di ruang Publik Virtual, tentu ada aturan-aturan, etika, norma dan prinsip-prinsip komunikasi sosial yang mengikat setiap masyarakat digital. Setiap informasi yang disajikan harus mampu dipertangung jawabkan. Setiap informasi harus mengandung kebenaran, tidak sepatutnya media sosial sebagai ruang publik dimanfaatkan untuk menyebarkan kebencian, permusuhan ataupun digunakan untuk menghimpun kekuatan dalam kegiatan yang dapat merugikan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ruang Publik Virtual yang demikian bebas, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan berpegang pada etika, nilai-nilai keadilan, adab dan kemanusiaan bermartabat.
Bagaimana pun juga, media sosial memiliki mekanisme dan pola relasi antar-individu yang kurang lebih sama dengan relasi sosial di dunia nyata.
Namun, perlu kita amati dalam media-mesia sosial kita masing-masing. Di group Whats Upp, Facebook, Twiter dan media-media Online lainnya. Masing-masing kita terlibat aktif dalam berbagai group media sosial.
Kita berjumpa dengan gaya komunikasi individu yang tidak memandang perbedaan usia, sebagian individu berdiskusi dengan cara menyerang sesamanya dengan sangat ekstrim, akun-akun palsu menyebar luaskan invormasi hoak’s tentang sesuatu bahkan orang lain. Ada diantaranya yang jari-jemarinya lebih cepat dari otak. Sebagian orang merespon gagasan intelektual orang lain dengan hinaan dan makian, bila dangkal mengimbangi idenya dengan ide orang lain. Bahkan miris ketika melihat bnyak orang berijazah berdiskusi tidak dengan argumentasi, melainkan tendensi dan sentimen. Junior tidak memiliki rasa hormat terhadap senior dan sebagainya, bahkan sebaliknya.
Fenomena yang tidak terkontrol nilai-nilai etis moral merengkuh banyak masyarakat. Tidak hanya terhadap mereka yang tidak berijazah, tapi telah merengkuh mereka yang berijazah sekalipun. Berdikusi bertatap muka, individu tertentu tidak mampu berargumen karena kedangkalan ide, namu berlagak berani ketika di group-group Whats Upp maupun Facebook.
Fenomena ruang publik virtual kita, luput dari nilai-nilai Kamanusiaan yang adil dan Beradab.
Memanusiakan Kembali Manusia Selaras Sila Ke-2 Pancasila
Sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” kerap kali dihubungkan dengan prinsip filosofis Kemanusian. Dengan kata lain, sila ini bermaksud menekankan nilai kemanusiaan. Masyarakat Indonesia harus menghargai setiap orang, kendati berbeda agama, Ras, suku dan sebagainya. Bahkan, Indonesia sebagai negara yang mengakui kemanusiaan Universal, maka sila ini hendak menegaskan masyarakat indonesia harus berempati dan bersimpati dengan masyarakat bangsa lain.
Ini pemahaman umum terhadap Sila “Kemanusiaan yang adil dan Beradab”.
Indonesia merupakan bagian dari kemanusiaan universal yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Namun, Hak Asasi Manusia yang mengembangkan persaudaraan berdasarkan nilai-nilai keadilan dan keadaban.
Bangsa Indonesia mengakui dan memperlakukan kesederajatan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Cinta. Manusia Indonesia dituntut untuk serentak Mengembangkan sikap saling tenggang rasa tepa selira dan memahami.
Sebab, Sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” berakar dari budaya bangsa serta telah tumbuh dalam adat istiadat manusia Nusantara.
“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” merupakan sebuah gagasan yang sangat Teologis-Filosofis. Ia mengandung Nilai spiritual untuk mengarahkan manusia menjadi manusia yang seutuhnya.
Manusia yang utuh selalu bersikap adil dan berprilaku adab. Itulah makna terdalam dari prinsip “kemanusiaan”.
Setiap orang ingin agar dirinya diperlakukan, diterima dan disahabati layaknya diri sendiri. Sebaliknya, setiap orang diperlengkapi dengan hikmat, dan kemampuan untuk berlaku dan bersikap sebagai orang yang adil dan beradab. Sebab itulah eksistensi manusia.
Oleh karena itu, dalam komunikasi-komunikasi di ruang Publik Virtual, spirit sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” perlu direfleksikan. Sebab nilai terdalam dari sila ini tidak hanya berhubunguan dengan interaksi antar ras, suku, agama dan perbedaan negara. Melainkan, sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” perlu dipahami dalam rangka berkomunikasi di ruang publik Virtual (Media sosial).
Dalam berkomunikasi, kita mesti berlaku, berpikir dan bertindak layaknya manusia yang berkeadilan dan berkeadaban.
Sebab, belakangan ini manusia indonesia kerap menyebut diri Pancasilais, tapi tidak berlaku pancasilais.
Banyak dari kita bicara fulgar tentang keadilan dan keberadaban, namun tidak bersikap adil dan beradab. Kita kerap bicara persaudaraan tapi tidak menjaga persaudaraan.
Kita kerap menampilkan model komunikasi yang tidak berintelektual dan kita kerap mencela argumentasi individu lain yang sangat intelektual dengan kata-kata yang tidak santun.
Komunikasi yang kerap kita pertontontonkan sangat dangkal dan tidak argumentatif.
Karena itu, peri kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban hilang ditelan ego dan kebodohan kita.
Kita tidak tampil sebagai manusia yang manusiawi, ini dapat terkonfirmasi dengan beragam tindakan, pemberitaan yang tidak berdasar pada nilai-nilai kemanusiaan. Bila hal ini dilakukan oleh mereka yang kurang terpelajar, perlu dimaklumi. Sebab, keterbatasan pengetahuan menentukan cara berpikir dan berprilaku.
Syangnya, sikap yang tidak manusiawi dan tidak berintelektual ini di tampilkan mereka yang didik dalam dunia akademis formal. Individu yang demikian, teramat banyak ditemui dalam group-group media sosial kita.
Hal ini menggelisahkan. Tindakan yang demikian menginterupsi jiwa pancasila masyarakat Indonesia. Refleksi perlu dilakukan. Berdialog dengan diri sendiri perlu dihidupkan. Memasuki relung batin masing-masing Individu perlu menjadi perjalanan spiritual.
Sebab, manusia harus menjadi manusiawi. Nilai keadilan komunikasi dan keadaban interaksi harus mengakar dalam jiwa bangsa pancasila.
Sila ke-2 Pancasila harus disemaikan kembali dalam hidup bersosial di ruang Publik Virtual, terutama dalam berkomunikasi dan berinteraksi.
Media sosial adalah ruang Publik yang disediakan peradaban dunia. Ruang Publik Virtual mampu memangkas keterpautan jarak dan mampu menganulir kewajiban tatap muka dalam interaksi dan komunikasi.
Dengan menjadikan media sosial sebagai ruang publik virtual, kemungkinan besar berbagai residu persoalan yang ditimbulkan karena keberadaan media sosial dapat diatasi dan dicegah dari awal. Selebihnya, dengan menjadikannya sebagai ruang publik virtual, diharapkan kita bisa memaksimalkan potensi rekonstruktif dari media sosial.
Jika itu terwujud, media sosial akan menjadi modal penting bagi transformasi sosial yang rekonstruktif, bukan sebaliknya justru menjadi lahan subur bagi bersemainya berita bohong, fitnah dan ujaran kebencian yang berwatak destruktif.
Pesan Spirit Sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” menggugat manusia virtual di ruang Publik Virtual.
Salamat merefleksikan Hari Lahir Pancasila 1 Juni (FKK03)