Kalabahi, FkkNews.com – Salah seorang Bhayangkari, korban dugaan pencabulan di Kabupaten Alor meminta keadilan atas kasusnya yang dialaminya.
Kasus yang terjadi pada 28 April 2023 lalu ini, diduga dilakukan oleh salah seorang personel Polres Alor yang berdinas di Polsek Alor Tengah Utara (ATU), berinisial Bripka AAA.
Dikutip dari Media POS-KUPANG.COM, korban menuturkan bahwa sejak proses hukum kasus ini dimulai, pelaku dikenakan pasal pencabulan oleh penyidik PPA Polres Alor.
Tetapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dikembalikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk diganti dengan pasal penganiayaan karena dianggap dugaan pelecehan tidak memenuhi minimal dua bukti. Penyidik Polres Alor berupaya memenuhi permintaan jaksa sehingga kasus ini berlanjut ke pengadilan.
Oleh JPU dari Kejaksaan Negeri Alor, pelaku dituntut 6 bulan penjara yang kemudian divonis hakim Pengadilan Negeri Kalabahi, 5 bulan penjara.
Korban kecewa berat terhadap berubahnya pasal cabul ke penganiayaan dan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Kalabahi.
Karena itu korban berharap ada keadilan yang didapatkan, dalam proses hukum internal di Kepolisian melalui sidang kode etik atau sidang disiplin.
“Saya merasa tidak dianiaya karena selama ini hubungan kami juga baik-baik saja. Kalau menurut saya dianiaya itu saya dipukul atau apapun itu, tapi ini saya digigit oleh pelaku,” ujarnya, didampingi keluarga saat ditemui di Desa Petleng, Kecamatan Alor Tengah Utara, Sabtu 9 Desember 2023.
Korban yang juga adalah istri seorang Polisi, merincikan kejadian tersebut. Menurutnya saat pelaku menggigit punggungnya, pelaku juga melontarkan kata-kata yang dinilai tidak etis serta vulgar.
Selain itu pelaku juga memukul bokong dan meraba dada serta perut korban. Kejadian itu berlangsung di rumah dinas korban di Polsek Alor Tengah Utara dimana saat itu, pelaku sedang duduk bersama kedua temannya di teras rumah dinas korban.
Korban yang saat itu sedang menyapu merasa tidak enak untuk menutup pintu rumah, karena takut dianggap mengusir pelaku dan teman-teman yang sedang duduk di teras rumah dinasnya.
Namun naasnya pelaku tiba-tiba masuk, memeluknya dari arah belakang serta melancarkan aksi tidak terpujinya.
“Setelah mendengar saya menangis pelaku tutup saya punya mulut, dia bilang, Ina … sudah ko, jangan bekin kakak susah ko. Kakak hanya main gila saja tu,” jelas korban sambil menahan tangis.
Korban sempat lari ke Pos Penjagaan dan menunggu suaminya pulang. Korban mengaku saat itu pikirannya kosong dan perutnya terasa sakit karena tengah hamil 3 bulan. Saat suaminya tiba di Polsek ATU, korban menceritakan kejadian tersebut. Suami korban sempat naik pitam, namun ditenangkan oleh korban.
Setelah kejadian itu, korban mengatakan dirinya sempat pingsan dan dilarikan ke salah satu bidan terdekat. Suaminya sempat mengirimkan chat dan bertanya ke pelaku. Tetapi pelaku malah menuduh korban berselingkuh.
“Setelah kejadian tersebut, saya membuat laporan ke Polsek pada tanggal 29 April 2023 karena menunggu itikad baik dari pelaku untuk meminta karena dirinya sempat memikirkan bahwa pelaku dan suaminya sesama anggota Polri.
Meski menjadi korban dalam kasus ini tetapi korban mengaku memiliki hati, untuk memberikan maaf terhadap pelaku tetapi justru yang didapatkan adalah fitnahan dengan berbagai cara.
Korban juga menambahkan pada saat persidangan dirinya hanya satu kali dihadirkan untuk bersaksi, sedangkan jadwal lainnya tidak pernah diberitahukan. Saat jadwal putusan, suami korban berinisiatif mencari jadwal di aplikasi PN Kalabahi dan baru ketahuan ada putusan.
Saat jadwal pembacaan putusan tanggal 4 Desember 2023, sidang yang dijadwalkan mulai pukul 08.00 Wita diundur tanpa kepastian hingga sore hari. Karena menunggu lama sejak pagi, korban menangis dan meminta suaminya untuk pulang.
“Saya sempat drop, saya minta suami pulang saja. Beberapa anggota keluarga yang mendampingi juga sempat emosi dan marah. Kami pulang sampai di rumah baru sidang jalan, keputusan 5 bulan kurungan dari 6 bulan tuntutan JPU,” kata korban.
Korban menegaskan dia menyesal terhadap putusan JPU yang hanya menuntut pelaku 6 bulan kurungan, dan hakim memutuskan 5 bulan kurungan.
Meski kecewa dengan putusan tersebut, korban dan keluarga masih menaruh harapan besar terhadap sidang kode etik atau sidang disiplin yang difasilitasi Polres Alor.
“Kalau saya tidak mendapatkan keadilan sebagai seorang perempuan dan Bhayangkari aktif dalam sidang kode etik dan disiplin yang ditangani Polres Alor, maka saya akan mencari keadilan itu di tempat lain atau tingkatan yang lebih tinggi,” ucapnya.
Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Alor AKBP Supriadi Rahman, S.I.K, M.M saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, menegaskan dirinya sangat memberikan apresiasi atas dukungan dari masyarakat terlebih dari rekan-rekan media yang telah mengawal kasus ini.
“Sejak awal kasus ini terjadi, saya sudah memerintahkan kepada seluruh Satuan Kerja (Satker) bahwa kasus ini harus ditindaklanjuti sesuai aturan yang ada. Terbukti melalui laporan awal kami sudah melakukan tahapan mulai dari lidik, sidik, hingga memenuhi petunjuk dari jaksa. Sempat juga P-19 tetapi sudah kita penuhi kekurangannya sampai dengan P-21 pada tanggal 28 Agustus 2023. Tahap duanya tanggal 4 September 2023,” jelasnya.
Kapolres menjelaskan bahwa dalam persidangan, pengadilan yang akan membuktikan kebenaran dari apa yang dilaporkan. Terhadap putusan itu, menjadi kewenangan di lembaga tersebut dan Kepolisian menghargai keputusan pengadilan.
“Kita juga berharap dalam kasus ini ada sebuah pembelajaran yang memberikan efek jera kepada kita semua baik dari kalangan Polri, maupun masyarakat umum. Saya harapkan kita sama-sama menghargai proses itu dan putusan pengadilan, itulah yang memiliki kekuatan hukum yang tetap,” katanya.
Terkait sidang kode etik, Supriadi mengaku sudah melaksanakan tahapan sesuai aturan dan meminta saran hukum dari Polda NTT sebagai tindak lanjut untuk melakukan sidang kode etik atau sidang disiplin.
Lebih lanjut Supriadi menegaskan bahwa peradilan umum tidak akan mempengaruhi sidang kode etik atau sidang disiplin, begitupun sebaliknya.
Apa yang dialami oleh korban dalam kasus ini, lanjut Supriadi akan menjadi pertimbangan dalam putusan sidang kode etik maupun sidang disiplin.
Tergantung dari keyakinan pimpinan sidang kode etik atau sidang disiplin melihat melalui fakta dan keterangan-keterangan baik dari saksi maupun korban.
“Saya memang tidak pernah bertemu dengan korban tetapi bukan berarti saya tidak berempati. Saya hanya menjaga, karena kasus kekerasan terhadap perempuan seperti ini, tidak selamanya korban terbuka kepada semua orang. Terutama kepada lawan jenis atau orang yang tidak terlalu dekat, apalagi kepada pimpinan langsung. Ini seperti membuka luka lama. Saya sangat menjaga privasi mereka, saya sudah diwakili Kapolsek ATU yang merupakan atasan langsung dari suami korban,” jelasnya.
Soal pendampingan terang Supriadi, kalau korban minta pasti akan difasilitasi oleh Polres Alor. Hanya saja korban tidak meminta dan Polres Alor menghargai privasi korban karena kasus ini merupakan hal yang dinilai sangat sensitif.
“Tidak semua perempuan bisa membuka diri, kita jaga privasinya, harga dirinya, martabatnya sebagai seorang perempuan. Kalau kita tidak berempati, sejak awal mungkin kasusnya dibiarkan begitu saja. Tetapi saya tidak melihat korban sebagai seorang Bhayangkari, saya melihat korban sebagai seorang perempuan, seorang istri yang punya harga diri dan martabat yang harus kita junjung tinggi. Makanya dari awal saya sudah tegaskan harus proses, apapun bentuknya,” pungkas Kapolres Supriadi. (*/Fkk/Eka Blegur).